REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa (shaum) adalah ibadah yang di dalamnya makan dan minum terlarang dilakukan. Ibadah ini mengajarkan manusia agar menanggalkan sejenak hal-hal yang dibolehkan. Manusia dilatih selama sebulan Ramadhan untuk mencontoh dan menerapkan sifat-sifat Ilahi dalam kehidupan nyata.
Salah satu sifat Ilahi adalah tidak makan. Ini sebagaimana yang dijelaskan Alquran surah al-An'am ayat 14. Artinya, "Katakanlah (Muhammad), 'Apakah aku akan menjadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?' Katakanlah, 'Sesungguhnya aku diperintahkan agar aku menjadi orang yang pertama berserah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.'"
Ibadah puasa mengajarkan, kalau kita sudah menikmati bejibun makanan dari Allah, berapa persen yang bisa kita sumbangkan untuk sesama demi meneladani sifat Ilahi itu?
Sejauh mana puasa yang kita lakukan mampu meredam tindak kriminal, kegarangan, dan kerawanan sosial yang seringkali dipicu oleh makhluk yang bernama 'makanan' ini?
Tidakkah ibadah puasa bisa menyadarkan kita agar mau menolong mereka yang terkena kesulitan hidup?
Bila kita berhasil menjelmakan sifat Tuhan ini dalam kehidupan, dengan memberi makan orang yang kekurangan, maka kala itulah nilai ketakwaan. Ini merupakan tujuan ideal puasa.
Allah menyebut orang yang tidak mau menganjurkan memberi makan orang miskin sebagai pendusta agama (QS 107: 3).
Ihwal pesan (larangan) Ilahi melalui makanan ini, sebetulnya bukan hanya lewat puasa, namun sudah terjadi jauh sebelumnya ketika Adam dan Hawa masih mendiami sorga. Ironisnya, justru masalah makanan inilah yang membuat nenek moyang kita itu terusir dari surga--yakni memakan buah terlarang (QS 2: 35-36).