REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Kehilangan seorang suami merupakan musibah dan malapetaka yang dihadapi istri. Namun, dalam menghadapi musibah tersebut, seorang istri hendaknya bersabar dan tetap meningkatkan ketaatan kepada Allah SWT. Kesabaran inilah yang ditunjukan Atiqah binti Zaid bin Amar bin Nufail. Atiqah sempat menikah sebanyak empat kali dengan pria-pria terbaik dari generasi awal Islam, tapi sebanyak itu pula Atiqah akhirnya menjanda lantaran sang suami gugur dalam keadaan syahid.
Atiqah lahir dari sebuah kabilah bernasab baik, di kalangan kaum Quraisy. Ayahnya adalah Amr' bin Naufal, seorang pemeluk yang taat terhadap ajaran ketauhidan di bawah Nabi Ibrahim AS. Salah satu saudara kandung Atiqah adalah sahabat yang telah dijamin masuk surga, Zaid bin Amr.
Atiqah dikenal memiliki perangai yang lembut, paras yang cantik, berakhlak mulia, dan memiliki kebersihan hati. Hal ini sepertinya turun dari sang ayah, yang menolak menyembah berhala saat mayoritas kaum Quraisy menyembah berhala. Maka, saat Rasulullah SAW menyebarkan agama Islam, Atiqah tidak ragu untuk berbaiat kepada Rasulullah SAW dan mengikuti semua ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Atiqah juga menjadi salah satu kaum muslimin yang ikut hijrah ke Madinah.
Tidak hanya memiliki paras cantik, akhlak mulia, dan kebersihan hati, Atiqah juga dikenal di kalangan shahabiyah sebagai salah satu sosok yang memiliki kefasihan dalam melantunkan dan membuat syair serta puisi. Namun, Atiqah dikenal secara luas sebagai wanita yang memiliki kesabaran dan tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada Allah SWT meski ditinggalkan suaminya.
Suami pertama Atiqah adalah putra dari Abu Bakar As Shidiq, Abdullah bin Abu Bakar. Abdullah begitu mencintai Atiqah, begitu pun sebaliknya. Bahkan, saat menikah dengan Atiqah, Abdullah dinilai banyak melalaikan shalat berjamaah dan enggan untuk terjun ke medan perang. Mengetahui hal ini, Abu Bakar pun meminta Abdullah menceraikan Atiqah. Hal ini akhirnya dituruti oleh Abdullah.
Seusai menceraikan Atiqah, kondisi Abdullah justru kian memburuk. Selain itu, Abdullah kerap jatuh sakit. Akhirnya, Abu Bakar mengizinkan Abdullah untuk rujuk dengan Atiqah dengan syarat Abdullah tidak lalai lagi. Syarat ini dipenuhi oleh Abdullah. Bahkan, saat panggilan jihad ke Thaif datang, Abdullah segera menjawab panggilan itu. Sayangnya, Abdullah gugur sebagai syahid di medan pertempuran tersebut. Atiqah pun menjanda.
Setelah masa idahnya selesai, Atiqah dilamar oleh Umar bin Khathab. Sebenarnya, pada saat itu, Atiqah telah berjanji kepada Abdullah untuk tidak menikah lagi sepeninggal dirinya. Terlebih, Atiqah juga telah diberikan harta yang berlimpah termasuk sebuah kebun. Hal ini akhirnya dikonsultasikan kepada Ali bin Abi Thalib. Ali pun menjawab, ''Kembalikan kebun itu kepada keluarga Abdullah, sesudah itu menikahlah lagi.'' Akhirnya, Atiqah menerima lamaran Umar bin Khathab.
Atiqah pun mendampingi Umar dengan penuh cinta dan kasih sayang. Atiqah juga menjadi saksi bagaimana Umar bin Khathab menjalankan amanah yang diberikan kaum Muslimin saat menjadi khalifah, menggantikan Abu Bakar Ash Shidiq. Namun, pernikahan ini mesti berakhir saat Umar meninggal dunia akibat ditikam oleh Abu Lu'luah. Atiqah kembali hidup menjanda.
Kendati begitu, tidak perlu waktu lama buat Atiqah untuk kembali menikah. Kali ini, sahabat sekaligus pengawal setia Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam, melamar dan menikahi Atiqah. Zubair bin Awwam adalah kesatria penunggang kuda yang sangat pemberani dan tidak takut mati. Beliau juga tidak pernah absen dalam setiap perang yang dipimpin Rasulullah SAW. Namun, Zubair akhirnya mati syahid seusai terkena panah dalam pertempuran Jamal di lembah As Siba'. Atiqah kembali kehilangan suami tercinta.
Setelah masa idahnya selesai, Atiqah kembali mendapatkan lamaran. Adalah Ali bin Abi Thalib yang melamar Atiqah untuk dipersunting sebagai istri. Namun, Atiqah secara halus menolak lamaran Ali tersebut. Lewat sebuah surat, Atiqah menolak lamaran Ali itu. ''Bukannya aku tidak menghormati sepupu Rasulullah, tetapi aku khawatir dirimu pun akan menjadi korban pembunuhan. Semua suamiku sebelum ini selalu mati terbunuh, dan aku tidak ingin yang demikian menimpa dirimu.''
Mendengar jawaban dari Atiqah itu, Ali kemudian berseru,''Barang siapa yang ingin mati syahid dengan cepat, supaya menikahi Atiqah.'' Atiqah kemudian menerima lamaran dan dari Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, usia Atiqah sudah mencapai sekitar 50 tahun, dan jarak usia antara Husain dan Atiqah terpaut cukup jauh. Kendati begitu, Atiqah dan Husain tetap saling mencintai dan rumah tangga mereka berjalan harmonis. Sampai akhirnya, Husain meninggal syahid di Karbala, Irak.
Sebenarnya, Atiqah sempat mendapatkan lamaran lagi sepeninggal suaminya yang terakhir, Husain bin Ali bin Abi Thalib, yaitu dari Marwan. Namun, Atiqah menolak lamaran tersebut dengan berkata, ''Aku tidak ingin lagi mempunyai mertua setelah Rasulullah." Atiqah hidup hingga awal kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan, khalifah pertama dari Dinasti Bani Umayyah. Atiqah binti Zaid bin Amar bin Nufail meninggal dunia pada 40 Hijriah.
Salah satu kemuliaan yang dimiliki Atiqah adalah semua suaminya bergelar syuhada. Sementara di sisi lain, meskipun Atiqah kehilangan suaminya, dia tidak pernah meninggalkan Allah SWT dan tetap taat menjalankan semua perintahnya, serta terus bersabar dengan semua ketentuan Allah SWT.