REPUBLIKA.CO.ID, Masih ada pendapat dari segolongan kaum Muslimin yang menilai orang tua Rasulullah masuk ke neraka. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan bersumber melalui Tsabit dari Anas bin Malik RA menjadi sandaran bagi dugaan itu. "Bahwa seorang lelaki bertanya, wahai Rasulullah, ke manakah ayahku? Beliau menjawab, "Di neraka." Ketika lelaki itu menunduk, beliau memanggilnya seraya berkata, "Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka."
Syekh Musthafa Hamdu Ulayan al- Hambali menjelaskan, hadis ini mengandung dalil asumtif. Bisa jadi, kata Inna Abi, (sesungguhnya ayahku) yang dimaksud adalah paman beliau, Abu Thalib. Masyarakat Arab biasa memanggil atau menyebut paman dengan kata Abu atau ayah. Bisa saja, jawaban Rasulullah atas lelaki itu merujuk pada paman beliau.
Para ulama menyepakati jika orang tua Nabi SAW masuk ke dalam golongan Ahlul Fathrah atau orang-orang yang hidup pada zaman Fathrah. Ulama menafsirkan jika fathrah bermakna suatu zaman di antara Nabi Isa AS dan Rasulullah SAW. Pada zaman ini, belum ada nabi yang diutus kepada mereka.
Syekh Musthafa mengklasifikasikan tiga ahlul fathrah. Pertama, golongan yang jelas kemusyrikannya dan tetap bertahan dalam keyakinannya. Contohnya, yakni Amr bin Luhayyi yang memperkenalkan dan menyebarkan penyembahan berhala di Jazirah Arab. Kedua, satu golongan yang di antaranya menyatakan akidah tauhid dan mengikuti Nabi Ibrahim. Ketiga, golongan yang tidak menyekutukan Allah dan tidak pula bertauhid. Menurut Syekh Mushtafa, golongan ini termasuk orang tua Rasulullah SAW.
Mayoritas ulama Mazhab Syafi'i, al- Asy'ari, dan sejumlah ulama Mazhab Hambali berpendapat jika kedua orang tua Rasulullah selamat dari neraka karena keduanya adalah Ahlul Fathrah. Mereka mendasarkan diri pada dalil QS al Isra: 15. "Akan tetapi, Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul."
Dalam ayat lainnya, Allah berfirman," Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek moyangnya belum pernah diberi peringatan karena itu mereka lalai." (QS Yasin: 15). Allah SWT juga berfirman, "Namun, (Kami utus engkau) sebagai rahmat dari Tuhanmu agar engkau mem beri peringatan kepada kaum (Quraisy) yang tidak didatangi oleh pemberi pe ringatan sebelum engkau agar mereka men dapat pelajaran." (QS al-Qashash: 46).
Para ulama, termasuk dikatakan Imam Ahmad bin Hambal bersifat Tawaqquf terhadap masalah ini. Dia berhenti memperdebatkannya dengan menyerahkan urusan mereka kepada Allah. Imam Ahmad menghentikan perdebatan tentang masalah-masalah yang serupa dengan kedua orang tua Rasulullah seperti pendapatnya tentang masalah Khadijah.
Imam Ahmad bersikap diam tanpa memberikan keputusan dalam permasalahan lainnya yang hampir sama dengannya. Meskipun terdapat hadis yang sahih. Di antara permasalahan yang dimaksud adalah putra-putri orang musyrik dan menempatkannya sebagai sumber perdebatan dan konflik.
Alangkah baiknya jika kita tidak berkomentar tentang orang tua Rasulullah mengingat keterbatasan ilmu. Alhafizh Abu al-Fadhl bin Hajar al-Asqalani menyampaikan pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan oleh akal dan didukung beberapa riwayat. Mengutip hadis yang diriwayatkan al-Hakim dan disahihkan Abdullah bin Mas'ud. Ia berkata, seorang pemuda dari kaum Anshar di mana tiada seorang pun yang paling banyak bertanya kepada Rasulullah SAW dibandingkannya.
Ia berkata, 'wahai Rasulullah apakah engkau mengetahui bahwa kedua orang tuamu di neraka? Beliau menjawab, 'Apa yang kumintakan kepada Tuhanku untuk keduanya, maka Dia mengabulkannya. Sung guh aku akan berdiri pada Hari Kiamat di tempat yang terpuji.
Hadis ini mengindikasikan jika Rasulullah memohon kebaikan bagi keduanya ketika beliau menempati tempat yang terpuji. Yakni dengan memberi syafaat kepada kaduanya, lalu keduanya cenderung untuk taat ketika diuji, sebagaimana Ahlul Fithrah diuji. Tidak diragukan lagi, ketika Nabi SAW menempati al-maqam al-mahmud (tempat terpuji), maka dikatakan kepada beliau. "Mohonlah, niscaya diberi. Dan berilah syafaat, maka engkau dapat mem beri syafaat." Wallahu'alam