REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Oman pada zaman dahulu dinamakan sebagai Negeri Ghubaira. Pada 629, surat Nabi Muhammad SAW tiba ke tangan Abdul dan Jaifar. Keduanya adalah putra al-Julanda, penguasa Ghubaira kala itu.
Mereka dan rakyat setempat akhirnya memeluk Islam. Nabi SAW bersabda, “Rahmat Allah kepada rakyat Ghubaira. Mereka beriman tanpa harus melihatku!” Amr bin Ash lantas diutus oleh beliau untuk berdakwah di sana.
Bertahun-tahun kemudian, pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan mereka tetap setia di naungan Islam. Belakangan, Utsman gugur.
Ketika konflik muncul antara pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, Abdul bin al-Julanda tak ingin bergabung ke salah satu dari dua kubu.
Secara politik, dia pun tak mau negerinya tergantung pada Umayyah, yang saat itu lebih unggul daripada Ali. Namun, al-Julanda tak mampu menangkal serangan sehingga terpaksa hijrah ke Afrika Timur.
Sejarah Ibadiyah
Perang Sifin memperhadapkan antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Pertempuran pada 657 itu berujung pada arbitrase (tahkim).
Sayyidina Ali dan Muawiyah saling berunding. Masing-masing mengutus Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash. Sebagian sejarawan menganggap, tahkim itu kemudian memunculkan Khawarij. Secara bahasa, itu berasal dari istilah kharij. Artinya, 'ia yang keluar.' Maknanya, keluar dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib karena mereka justru sebelumnya amat keras mendukung ayahanda Hasan dan Husain itu.
Belakangan, Khawarij pun terpecah-belah lantaran visi yang berlainan. Ahmad Choirul Rofiq itu dalam artikelnya, “Ideologi Politik Khawarij Ibadiyyah dan Sistem Monarki Dinasti Rustamiyyah" menjelaskan perihal itu.
Perpecahan Khawarij dipicu perbedaan pandangan antartokohnya. Kadang kala, satu sama lain justru saling menuduh kafir.
Empat grup utama muncul. Mereka adalah Azariqah (dipimpin Abu Rasyid Nafi bin al-Azraq), Najadat (dipimpin Najdah ibn ‘Amir al-Hanafi), Shufriyyah (dipimpin Abdullah bin al-Shaffar), dan Ibadiyah.
Kalangan ekstrem dari Khawarij, terutama yang dipimpin Abdullah bin Wahab ar-Rasibi, menggulirkan rencana untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Hanya Ali yang tidak lolos dari upaya jahat tersebut. Ia gugur saat sedang memimpin shalat subuh di Masjid Kufah.
Setelah Ali tiada, Muawiyah kian berjaya. Namun, Abdul bin al-Julanda tidak ingin dikendalikan Damaskus—ibu kota Dinasti Umayyah yang dimulakan Muawiyah.
Maka, para pengikutnya kemudian memilih al-Julanda bin Mas’ud (yaitu bapaknya Abdul) sebagai pemimpin. Sejak saat itu, Ghubaira (kini Oman) menjadi sentra aliran tersebut,
Nama Ibadiyah diilhami dari Abdullah bin Ibad al-Tamimi (wafat 700). Dia merupakan seorang ulama asal Basrah. Muridnya, Jabir bin Zaid al-Azdi, lantas pindah dari Irak ke Ghubaira. Di negeri yang kini Oman modern itulah al-Azdi menyebarkan ajaran sang gurunda. Hingga akhirnya, penguasa negeri setempat menjadi salah satu pengikutnya.
Ciri-ciri Ibadiyah
Menurut Choirul Rofiq, Ibadiyah memiliki ajaran-ajaran tertentu yang sesungguhnya amat berbeda dari pemikiran ekstrem.
Secara teologis, para pengikut Ibadiyah berpendapat, tauhid berarti mengesakan Zat Allah, sifat-sifat Allah, dan perbuatan Allah. Perbuatan manusia pun termasuk ciptaan Allah. Manusia juga memiliki kebebasan untuk berikhtiar. Iman dimaknai sebagai pembenaran di dalam hati serta pengamalan dengan perbuatan.
Secara sosial, penganut Ibadiyah dilarang memusuhi kaum Muslimin yang tidak mengikuti aliran ini. Mereka juga diperkenankan untuk menerima saksi dari orang-orang yang tak sealiran.
Secara ideologi politik, Ibadiyah menghendaki berdirinya pemerintahan demi menegakkan keadilan dan amar ma’ruf nahi munkar. Seseorang harus memenuhi sejumlah syarat agar dapat menjadi pemimpin. Sebagai contoh, dia mesti dipilih berdasarkan musyawarah-mufakat rakyat. Trahnya tidak mesti dari Suku Quraisy.
Alih-alih aspek keturunan, ajaran Ibadiyah lebih berkutat pada kualitas-kualitas lain dari seorang calon pemimpin. Umpamanya, dia mesti beriman, bersifat adil, mampu menguasai ilmu-ilmu agama, sehat jasmani, dan bersikap dewasa.
Ibadiyah menolak pandangan bahwa pemimpin bersifat suci dari dosa (ma’shum). Malahan, kekuasaan pemimpin dapat dilengserkan oleh rakyat bila dia memang terbukti melakukan penyimpangan. Alhasil, Ibadiyah dikenal sebagai sekte yang puritan, tetapi pada saat yang sama juga toleran terhadap kemajemukan.
Hingga saat ini, Oman merupakan negeri dengan jumlah pengikut Ibadiyah terbanyak. Bagaimanapun, aliran ini juga dapat dijumpai di Zanzibar (Afrika Timur) dan Libya (Afrika Utara).