REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Bachtiar Nasir
Kredibilitas keimanan seseorang mukmin dalam berinteraksi sosial diukur Allah dengan dua kriteria utama, yakni menjaga amanah dan menunaikan janjinya, baik amanah dan janji kepada Allah atau amanah dan janji kepada sesama. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS al-Mukminun [23]: 8).
Adapun cela orang munafik di antaranya adalah mentalitas khianat dan suka mengingkari janjinya, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Rasulullah SAW bersabda, “Ada empat hal, yang jika berada pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafik. Sesungguhnya dan barang siapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut, maka pada dirinya terdapat sifat kemunafikan hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika berseteru ia berlaku curang.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ulama menjelaskan, kemunafikan itu ada dua macam, pertama: nifaq i’tiqadi (kemunafikan dalam keyakinan), pelakunya berupaya menampakkan keislaman pada zahirnya, tetapi menyembunyikan kekufuran yang ada di hatinya. Jenis nifaq ini menjadikan pelakunya keluar dari agama dan kelak akan berada di dalam kerak neraka. Kedua, nifaq ‘amali (kemunafikan dalam perbuatan), pelakunya melakukan salah satu kebiasaan perbuatan orang-orang munafik, tetapi masih tetap ada iman di dalam hatinya. Nifaq jenis ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, tetapi dapat menjuruskan pelakunya pada kemurtadan.
Sebagai seorang mukmin, berhati-hatilah dalam membuat janji-janji. Jangan berjanji jika tidak sungguh-sungguh ingin menunaikannya. Dalam pepatah Melayu dikatakan, sekali lancung keujian, seumur hidup orang tidak akan percaya. Sekali saja mengkhianati teman, maka untuk selanjutnya Anda tidak dipercayai lagi. Sehingga ada orang bijak berpesan, “Tunaikanlah janji walau harus mati.”
Tentunya, maksud pesan ini adalah berupaya keraslah dalam menunaikan janji karena Allah pasti akan tolong dan mampukan. Kalau memang harus mati dalam menunaikannya, kita mati di jalan yang Allah ridhai. Akibat besar yang ditimbulkan dari sikap seperti ini bukan hanya menjadi pribadi yang terpercaya di hadapan manusia, melainkan yang terpenting adalah mendapatkan kepuasan telah menjadi hamba yang membenarkan janji kepada Allah (shiddiq). Sungguh, moralitas yang akan bernilai melebihi harta dan uang yang tak terhingga jika seseorang berani melakukannya.
Di sisi lain, kita harus yakin bahwa jika telah berusaha memenuhi janji, tapi masih terhalang oleh faktor-faktor yang dibenarkan secara syar’i, misalnya lupa atau di luar batas kemampuan. Dalam kondisi seperti ini, segeralah meminta maaf atas kelemahan diri dan beristighfarlah kepada Allah. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS al-Baqarah [2]: 286).
Di antara alasan syar’i yang menyebabkan seseorang tidak berdosa menunaikan janjinya adalah karena lupa dan dalam tekanan yang sangat berat untuk tidak menepati janjinya. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan dari umatku kekeliruan, kelupaan, dan apa-apa yang dipaksakan terhadap mereka.” (HR Ibnu Majah).
Karenanya, barang siapa berjanji untuk melakukan sesuatu kemudian dia lupa atau dipaksa untuk tidak menepati janjinya, maka hal itu dimaafkan. Mari bermohon kepada Allah agar kita dimampukan Allah menjadi pribadi yang kuat menjaga amanah dan memiliki kesungguhan untuk memenuhi janji. “Setali pembeli kemenyan, sekupang pembeli ketaya. Sekali lancung keujian, seumur hidup orang tak percaya.”