REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Murat Alhas, Anadolu Agency
Dengan strategi militer yang tidak lazim dan pikiran intelektualnya, sang penakluk membangun kerajaan dan mengubah arah sejarah
ANKARA (AA)- Di antara miliaran orang yang telah berjalan di bumi sejak permulaan umat manusia, hanya beberapa yang patut diingat karena keterampilan dan dampaknya yang luar biasa terhadap sejarah. Di antaranya adalah Mehmet II, yang juga dikenal luas sebagai Muhammad al-Fatih atau Mehmet sang Penakluk, Sultan Ottoman yang mendapat kehormatan menaklukkan Istanbul sehingga mendapatkan gelar "penakluk".
Mehmet baru berusia 21 tahun ketika dia mengirim Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium ke halaman sejarah yang berdebu dan membangkitkan negara Turki menjadi sebuah kerajaan yang kelak menguasai sejumlah wilayah di berbagai benua selama berabad-abad mendatang. Sama seperti tokoh-tokoh sejarah terkemuka lainnya yang masih diingat dan dihormati, sebuah kisah menarik terletak di balik kesuksesan sang penakluk, yang menjadi sultan ketika dia masih kecil.
Muak dengan keluhan politik dan lelah setelah kematian putra sulungnya, ayahnya, Murad (Murat) II, turun takhta pada 1444 dan mendesak Mehmet II untuk menjadi pemimpin baru kerajaan pada usia 12 tahun. Namun, pemerintahan pertamanya berakhir hanya dua tahun. Pasalnya, tokoh-tokoh politik dan militer mendorong Murad II untuk kembali ke takhta karena ketegangan dan gejolak di wilayah-wilayah yang ditaklukkan–terutama di wilayah Eropa, dan ancaman Tentara Salib–, sementara masyarakat skeptis terhadap kemampuan seorang anak kecil yang menjadi sultan.
Meskipun Mehmet II secara sukarela meninggalkan takhta untuk ayahnya, jelas bahwa dia merasa dipermalukan sebagai seorang pemimpin.
Dia kemudian kembali ke Manisa, di wilayah Aegean, di mana dia terus mengembangkan kecerdasannya dan menikah. Bangsawan muda itu juga mendapatkan wawasan militer ketika dia bergabung dengan ayahnya dalam Pertempuran Kosovo 1448.
Kembali ke takhta
Ketika ayahnya wafat pada 1451, Mehmet II naik takhta lagi, dengan banyak pelajaran yang dipetik dari pengalaman sebelumnya serta kesalahan dari sejarah Kesultanan Ottoman yang telah memicu sesuatu kemunduran.
Berusaha untuk membuktikan dirinya di mata tokoh-tokoh senior Ottoman dan publik, dan mewujudkan tujuan utamanya untuk menorehkan sejarah, matanya tertuju pada penaklukan Konstantinopel, ibu kota Bizantium saat itu, dan segera meluncurkan persiapan untuk pertempuran selanjutnya.
Meskipun kota itu sebelumnya telah dikepung berkali-kali, tidak ada yang bisa merebutnya. Mehmet II tahu betul bahwa untuk mencapai yang mustahil diperlukan taktik dan wawasan yang tidak lazim.
Sang sultan mengumpulkan pasukan besar--mencakup lebih dari 200 ribu tentara, tetapi beberapa sejarawan mengatakan jumlah itu kurang dari setengahnya--dan muncul di depan tembok kota yang kuat dengan penuh keyakinan.
Dia mengepung kota melalui laut dan darat, diikuti dengan gerakan tak terduga, yakni mengangkut kapal perang melalui daratan di sekitar Galata, lalu koloni Genoa di sisi Eropa Istanbul modern.
Serangan militer berlanjut selama lebih dari 50 hari, dipelopori oleh serangan meriam besar-besaran yang menghantam dinding untuk membuka lubang tempat tentara dapat menembus kota.
Pada 29 Mei, kota itu akhirnya jatuh, membuat Mehmet II mendapat gelar penakluk yang layak.
Penaklukan kota itu adalah kemenangan paling terkenal dari Mehmet sang Penakluk. Namun, pada tahun-tahun berikutnya dia juga memastikan kuasa Ottoman atas Serbia, Morea, Trebizond (Trabzon modern) di wilayah utara Turki modern, serta Bosnia, Albania dan beberapa wilayah Anatolia (Turki tengah).
Link: https://www.aa.com.tr/id/repertoar/muhammad-al-fatih-sang-penakluk-genius-dari-ottoman/1828255