REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW bersabda. Kala itu, beliau belum lama telah melakukan Isra-Mi'raj. "Aku telah meninjau surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum miskin," demikian sabda beliau.
Beranjak dari hadis sahih di atas, barangkali akan muncul pertanyaan. Benarkah Islam memandang kemiskinan sebagai suatu kelebihan? Kekayaan adalah penghalang seseorang masuk surga?
Untuk menelaahnya, pertama-tama kita kaji dulu definisi kekayaan dan kemiskinan menurut Islam. Menurut agama ini, kekayaan adalah rahmat Allah. Oleh karena itu, memohon rezeki pun diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan, doa beliau itu dibaca berkali-kali setiap kita duduk di antara dua sujud dalam shalat. Hanya saja, kekayaan menjadi keutamaan ketika diamalkan di jalan Allah.
Adapun kemiskinan, menurut Islam, adalah ujian terhadap ketabahan dan kesabaran seorang Mukmin. Kemiskinan bukanlah keutamaan yang secara otomatis menjadikan ia masuk surga. Kesabaran, ketabahan, dan ketakwaannya--itulah yang mesti diperhatikan. Begitu pula dengan berbagai amal saleh lainnya.
Karena itu, "kaum miskin" penghuni surga dalam hadis tersebut harus dimaknai sebagai orang-orang miskin yang saleh dan bertakwa. Bukan kemiskinan semata.
Sebab, kemiskinan saja kadang malah merupakan bala yang bisa membawa seseorang kepada kekufuran. Inilah maksud sabda Nabi SAW, "Kemiskinan hampir-hampir membawa seseorang kepada kekufuran."
Syekh Manshur Ali Nasar, dalam kitabnya, Al-Taaj, menyatakan, keutamaan orang-orang miskin (yang banyak masuk surga) itu bukan karena kemiskinan, tapi karena kesabaran, takwa, dan amal saleh mereka yang (biasanya) menyebabkan mereka miskin.
Mereka miskin bukan karena kurang usaha, tapi karena sentiasa mengorbankan banyak harta-benda di jalan Allah, karena mereka lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri.