REPUBLIKA.CO.ID, Setelah Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau banyak meletakkan fondasi-fondasi untuk membuat Muslim diterima dan membuatnya sebagai pemimpin teladan.
Fondasi ini berupa sikap dan perilakunya yang membuat warga Madinah kagum dan hormat padanya. Bahkan, rasa hormat ini juga datang dari warga non-Muslim, salah satunya dari warga Yahudi.
Dari buku Muhammad Sang Teladan karya Abdurrohman Asy Syarqawi, dijelaskan pada masa awal Muhammad datang ke Madinah, saat itu masih bernama Yasrib, kaum Muslimin yang ikut berhijrah dengannya atau yang dikenal dengan nama muhajirin mengalami kesulitan ekonomi.
Kebanyakan mereka bukanlah orang kaya. Apalagi, ditambah datang di tempat baru yang mereka tak punya hak tanah sama sekali sehingga mereka tak punya penghasilan. “Saat itu, Muhammad piawai melobi orang kaya Madinah yang punya tanah luas agar diberikan kepada para muhajirin,” tulisnya.
Muhammad mengimbau sahabat-sahabatnya untuk memberikan dana santunan, menyisihkan sebagian harta kekayaan mereka untuk mengurangi ledakan pengangguran dan kemiskinan.
“Sangatlah tercela jika terdapat di antara sesama Muslim yang kelaparan, kekurangan, atau kesusahan, sementara yang lain ada yang hidup mewah,” jelasnya.
Muhammad tampil sebagai pemimpin yang memperhatikan rakyatnya. Sebagai pemimpin, ia menunjukkan tanggung jawab agar rakyatnya tidak mengalami kesulitan dalam ekonomi. Ketika berada di Madinah, yang menjadi prioritas utama Muhammad adalah menumbuhkan rasa cinta kasih di kalangan penduduk Madinah.
“Ia telah sukses menciptakan jalinan sosial yang harmonis antara suku Aus dan suku Kazraj hingga di antara mereka seperti tak pernah terjadi pertumpahan darah dan kekerasan,” tulisnya.
Kewajiban utama yang harus dilakukannya ketika menginjak Madinah adalah mengintegrasikan semua warga yang tinggal di situ sebagai orang yang butuh perlindungan dan dukungan.
Zuhairi Misrawi dalam bukunya, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad, menuliskan Rasulullah telah meletakkan beberapa fondasi penting hingga menjadikannya sebagai negarawan yang patut diteladani.
Pertama adalah fondasi teologis. Ketika Muhammad tiba di Madinah, hal pertama yang dilakukannya adalah membangun masjid. Pembangunan masjid ini mengajarkan sebuah nilai optimisme akan terwujud jika ada kebersamaan.
Ketika tiba di negeri baru, dengan berdirinya masjid memberikan semangat optimistis bagi Muslim untuk menuju kehidupan yang lebih baik setelah hijrah. “Masjid tidak hanya mengajarkan pentingnya ibadah ritual, tetapi juga mengajarkan pentingnya ibadah sosial sebagai bentuk nyata dari misi Islam, yaitu mengemban perubahan pada tataran empiris,” tulisnya.
Fondasi yang kedua adalah moralitas. Muhammad selalu menekankan pentingnya moralitas. Salah satunya adalah kejujuran. “Dalam bahasa modern, kejujuran ini dikenal dengan integritas,” katanya.
Selain kejujuran, kesabaran merupakan moralitas yang penting untuk dijadikan pegangan Muslim agar bisa menjalani kehidupan ini dengan cermat dan hati-hati.
Saling mengasihi juga diutamakan. Kasih sayang menjadi pengikat, baik dalam konteks internal sesama Muslim maupun konteks umat yang lebih luas.
Fondasi terakhir yang ditancapkan dalam membentuk sebuah pemerintahan adalah sosial politik. Selama 10 tahun berada di Madinah, Muhammad telah membangun tatanan masyarakat lengkap dengan konstitusinya yang membuatnya menjadi negara yang maju.
Prinsip utama yang diperlukan untuk membangun masyarakat ini adalah ditempuhnya jalur musyawarah. Musyawarah dan tukar-menukar pendapat merupakan pintu kemuliaan dan pintu berkah. Sistem musyarawah ini memberikan inspirasi yang begitu mendalam bagi perjalanan negara-negara Islam. Masjid bisa menjadi tempat pilihan ketika melakukan sebuah musyawarah yang penting.
Seorang pemimpin memercayakan keterlibatan banyak pihak dalam menampung pendapat untuk kemaslahatan bersama. Diskusi dan konsultasi terus dilakukan dalam memecahkan setiap persoalan.
Muhammad sebagai seorang pemimpin selalu menerapkan musyawarah dalam banyak persoalan yang dihadapinya, bahkan untuk hal-hal genting, misalnya, keputusan perang yang akan diambil. “Sebelum Perang Badar, Muhammad meminta kepada para sahabat dan pengikutnya untuk bermusyawarah sebelum memutuskan sesuatu,” tulisnya.
Prinsip keadilan juga selalu dijunjung oleh Muhammad. Jika keadilan dijadikan sebagai panduan utama dalam menerapkan kebijakan publik, rakyat akan merasakan manfaat dari keputusan yang telah diambil oleh pemimpinnya. Dalam surat al-Nahl ayat 90, dijelaskan, “Sesungguhnya Allah menyerukan pada keadilan, kebajikan, kepedulian orang terdekat, serta menjauhi keburukan, kemungkaran, dan kezaliman.”