REPUBLIKA.CO.ID,Pada abad pertengahan ketika dunia Islam mencapai puncak kejayaan, muncul semangat luar biasa untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Beragam penemuan ilmiah pun terjadi. Di bidang medis dan farmasi, banyak praktisi yang mengambil pedoman dari Hadis atau sabda Nabi Muhammad SAW.
Salah satu contohnya adalah Hadis riwayat Bukhari yang menyatakan, "Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan juga penawarnya (obatnya).''
Hal sama juga diriwayatkan Abu Darda bahwa Rasulullah bersabda, "Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya. Ia telah menetapkan obat untuk setiap penyakit, jadi jangan ragu untuk berobat." Kata-kata itu menunjukkan tanggung jawab bagi para ahli kimia dan farmasi untuk menemukan obat bagi setiap penyakit.
Satu abad setelah wafatnya Rasulullah SAW, pendekatan sistematis paling awal untuk masalah obat-obatan terjadi di Damaskus, tepatnya di istana tempat Dinasti Umayyah berkuasa. Efek dari gigitan ular, anjing, kalajengking, laba-laba, dan hewan lainnya menjadi perhatian. Hal lain yang menyedot perhatian adalah sifat beracun dari sejumlah mineral dan tumbuhan.
Kasus kematian mendadak bukan hal baru kala itu. Namun, kasus itu sering kali dianggap sebagai akibat dari racun. Tak heran jika rasa takut akan racun mendorong para pemimpin Dinasti Umayyah untuk mempelajari, mendeteksi, dan mengenyahkan racun itu. Alhasil, kala itu banyak apotek yang dikelola oleh orang yang memahami toksikologi.
Salah seorang pemilik apotek, Ibnu Uthal, berperan pula sebagai dokter pribadi Khalifah Umayyah pertama, Muawiyah. Ibnu Uthal adalah seorang alkemis terkenal yang telah melakukan studi sistematis tentang racun dan penangkalnya. Apoteker lain yang juga berperan sebagai dokter adalah Abu al-Hakam al-Di mashqi yang melayani Khalifah Umayyah kedua, Yazid bin Muawiyah.
Putra Yazid, Khalid sangat tertarik pada alkimia dan mempekerjakan filsuf Yunani yang tinggal di Mesir. Dia memberikan upah yang sangat baik dan mereka menerjemahkan bukubuku Yunani dan Mesir tentang kimia, kedok teran, dan astronomi ke dalam bahasa Arab.
Sebaya dengan Khalid, yaitu Jabir bin Hayyan meletakkan fondasi awal bagi penelitian kimia dan biokimia. Para peneliti Muslim di bidang kimia serta biokimia terbukti teliti dan gigih dalam bereksperimen. Setiap hasil eksperimen, mereka catat dengan cermat.
Eksperimen itu mereka lakukan untuk mengumpulkan informasi sekaligus menjawab pertanyaan secara lebih spesifik. Dalam melakukan riset atau eksperimen, mereka menghindari keya kinan yang tidak terbukti atau takhayul. Berkat upaya mereka, ilmu kimia dan biokimia pun berkembang.