REPUBLIKA.CO.ID,Ramadhan 1441 Hijriyah baru kita mulai. Layaknya ibadah lainnya, puasa memiliki aturan main yang ditetapkan syari'at. Apa yang diwajibkan, disunahkan, dimubahkan, dimakruhkan, hingga diharamkan. Salah satu hal yang membatalkan puasa adalah berhubungan suami istri. Lantas, bagaimana hukumnya jika pasangan suami-istri tersebut lupa karena baru memasuki hari pertama puasa?
Menurut Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah, dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd, apabila seseorang melakukan hubungan intim saat sedang berpuasa karena lupa maka ia tidak wajib mengqadha puasanya. Ia juga tidak wajib membayar kafarat sama sekali.
Adapun ulama-ulama mazhab yang berpendapat seperti ini, antara lain Hasan al- Bashri, Mujahid, Abu Hanifah, Ishak, Abu Tsaur, Dawud, dan Ibnu al-Mundzir. Namun, ulamaulama dari dua kalangan ini seperti al-Auza'i dan al-Laits berpendapat, yang bersangkutan dikenakan qadha. Menurut mereka, melakukan hubungan seks karena lupa tidak bisa disamakan dengan kasus makan ataupun minum.
Menurut Imam Ahmad, serta ulama-ulama dari mazhab Imam Malik, yang bersangkutan hanya wajib mengqadha dan tidak wajib membayar kafarat. Sementara itu, ulama-ulama dari mazhab Zhahiri, berpendapat mereka wajib mengqadha sekaligus membayar kafarat.
Terjadinya silang pendapat karena qadha bagi orang yang lupa tersebut karena adanya pertentangan antara pengertian lahiriah hadis dengan qiyas. Dari segi qiyas, orang yang berhubungan seks karena lupa berpuasa disamakan dengan orang yang meninggalkan shalat karena lupa.
Dia pun diwajibkan mengqadha puasa sebagaimana yang diwajibkan terhadap orang yang meninggalkan shalat karena lupa berdasarkan nash. Adapun hadis yang memiliki pengertian lahiriah bertentangan dengan qiyas, ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari dan Imam Muslim.
Rasulullah SAW bersabda: "Man nasiya wa huwa shoimun, fa akala aw syariba falyutimma shaumahu fainna ma ath'amahullahu wasaqohu." Yang artinya: "Barang siapa lupa kalau dia sedang berpuasa lalu makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya ia diberi makan dan minum oleh Allah."
Dari hadis ini, muncul perdebatan pendapat oleh para ulama. Mereka berselisih tentang orang yang mengira matahari sudah terbenam sehingga ia lalu berbuka, tapi ternyata belum (terbenam). Maka, muncullah perdebatan apakah yang bersangkutan wajib mengqadha atau tidak? Sedangkan lupa sendiri disamakan dengan khilaf, termaafkan.
Ibnu Rusyd menjelaskan, apabila dipahami bahwa hukum dasarnya adalah orang lupa tidak wajib mengqadha puasa, kecuali bila ada dalil yang mewajibkannya. Maka, orang yang berbuka karena lupa tidak wajib qadha karena tidak ada dalil yang mewajibkannya. Lain halnya dengan lupa dalam mengerjakan shalat yang wajib qadha.
Jika dipahami bahwa hukum asal orang lupa wajib mengqadha, kecuali bila ada dalil yang menghapus kewajiban tersebut, dalil yang menghapuskan kewajiban tersebut ada. Yakni, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang isinya membebaskan sanksi hukuman dari orang yang lupa.
Kecuali kalau ada orang yang mengatakan, sesungguhnya lupa dalam berbuka itu sama dengan lupa dalam ibadah-ibadah yang lain pada umumnya. Kecuali jika lupa berbuka itu disama kan dengan lupa shalat maka wajib mengqadha.
Rasulullah SAW bersabda: "Umatku diampuni karena melakukan kekhilafan dan lupa." Namun, sampai ada dalil lain yang mentashih. Pendapat-pendapat ulama yang menyatakan wajib mengqadha dan tidak, ataupun wajib membayar kafarat atau tidak sejatinya memiliki dasar dalil yang jelas.
Imam an-Nawawi dalam kitabnya berjudul al- Majmu menjelaskan, melanggar hal-hal yang me nafikan puasa karena lupa itu tidak membatalkan. Menurut Rabi'ah dan Imam Malik, sebagaimana yang dijabarkan oleh Imam an-Nawawi, puasa orang yang melakukan hubungan seks, makan, dan yang lainnya hukumnya batal.