REPUBLIKA.CO.ID, Yaman pada masa lalu juga dikenal sebagai negeri paling subur di Semenanjung Arabia, dengan curah hujan yang cukup setiap tahunnya. Karena suburnya tanah Yaman, ahli geografi Yunani yang hidup pada abad kedua, Ptolemy, bahkan menyebut negeri itu sebagai Eudaimon Arabia (yang dalam terjemahan versi latin disebut Arabia Felix) yang berarti 'Arabia yang Sejahtera'.
Berdasarkan catatan sejarah, Yaman sudah lama menjadi perlintasan budaya di Semenanjung Arabia. Lokasinya yang strategis membuat negeri itu dikenal sebagai jalur perdagangan penting di kawasan Teluk. Jauh berabad-abad sebelum kedatangan Islam, Yaman diketahui telah dihuni oleh peradaban manusia.
“Permukiman besar kuno di pegunungan utara Yaman sudah ada sejak 5000 sebelum Masehi (SM),” ungkap Daniel McLaughlin dalam buku Yemen: The Bradt Travel Guide.
Antara abad ke-8 SM hingga abad ke-6 Masehi, negeri Yaman didominasi oleh enam negara utama yang saling berebut pengaruh. Keenam negara itu adalah Kerajaan Saba, Ma'in, Qataban, Hadramaut, Awsan, dan Himyar.
Kerajaan Saba tampil sebagai penguasa paling menonjol selama berabad-abad di kawasan selatan Arabia. Kerajaan ini memusatkan kekuasaannya di Ma'rib, yang lokasinya tidak jauh dari ibu kota Republik Yaman hari ini, Sana'a. Menurut tradisi yang berkembang di Arab, kota tersebut didirikan pertama kali oleh putra sulung Nabi Nuh AS, Sam.
Ajaran Bibel di kalangan Nasrani meyakini Kerajaan Saba sebagai negara yang pada masa lampau pernah dipimpin oleh Ratu Sheba (di dalam Islam dikenal dengan sebutan Ratu Bilqis, Red).
Bahkan, di dalam Alquran, kerajaan tersebut juga diceritakan memiliki hubungan dengan Kerajaan Israil semasa kepemimpinan Nabi Sulaiman AS. “Selama pemerintahan Kerajaan Saba, perdagangan dan pertanian berkembang pesat di Yaman sehingga membawa kemakmuran bagi masyarakatnya,” tulis laman Incense Caravan dalam artikel “Indulge in the Rich History of Yemen.”
Perekonomian Kerajaan Saba pada masa itu terutama ditopang oleh perdagangan rempah-rempah dan tumbuh-tumbuhan aromatik. Komoditas tersebut diekspor ke Mediterania, India, dan Abyssinia.
Pertanian di Yaman berkembang sangat maju selama periode pemerintahan Saba, karena didukung oleh sistem irigasi yang canggih yang dibangun sejak 700 SM. Sayangnya, sistem irigasi tersebut akhirnya hancur pada 570 karena tidak dirawat dengan baik oleh berbagai generasi sesudahnya.
Pada abad ketiga SM, kelompok federasi suku Hadramaut, Qataban, dan Ma'in memisahkan diri dari Saba. Mereka lantas mendirikan pemerintahannya masing-masing di wilayah Yaman. Kerajaan Saba kemudian berhasil mengambil kendali kembali atas Ma'in, menyusul runtuhnya Qataban pada 50 SM.
“Beberapa tahun sesudahnya, Kerajaan Saba sekali lagi tampil sebagai kekuatan yang mendominasi Arabia Selatan,” tulis Lionel Casson dalam The Periplus Maris Erythraei: Text with Introduction, Translation, and Commentary.
Pada 25 SM, ekspedisi militer bangsa Romawi di bawah pimpinan Aelius Gallus berusaha menaklukkan Saba. Namun, upaya tersebut gagal. Armada Gallus ketika itu hanya mampu menghancurkan Pelabuhan Aden untuk menjamin rute perdagangan Romawi ke India.
Selepas ekspedisi militer Romawi, kondisi politik di Yaman berada dalam kekacauan. Negeri itu akhirnya menjadi objek perebutan pengaruh dua suku besar, yaitu Bani Hamdan dan Bani Himyar. Sekitar akhir abad pertama Masehi, suku Himyar menganeksasi Kota Sana'a dari tangan Bani Hamdan. Selanjutnya, mereka berhasil pula menaklukkan Hadramaut, Najran, dan Tihama pada 275 M.
Sekitar 570 M, Dinasti Sasaniyah dari Persia menganeksasi Kota Aden. Di bawah pemerintahan imperium tersebut, sebagian besar daerah di Yaman memperoleh otonomi yang luas, kecuali Aden dan Sana'a. Era tersebut menandai runtuhnya peradaban Arab kuno di Yaman.