REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah Muhammad SAW merupakan insan yang ma'shum (terpelihara) sehingga tidak akan mungkin bertindak sewenang-wenang.
Beberapa ayat Alquran menegaskan kuasa otoritatif Rasulullah SAW dalam mengadili perkara yang datang kepada beliau. Misalnya, surah An-Nisa ayat 105; Asy-Syura ayat 15; atau An-Nur ayat 51. Ketetapan yang dihasilkan beliau menjadi judgment yang final.
Sistem peradilan yang diterapkan Nabi SAW dilandaskan pada prinsip persamaan, keadilan, dan public sense. Sebagai contoh, Rasulullah tidak pernah membedakan perlakuan pada seseorang di mata hukum.
Diceritakan, suatu ketika seseorang wanita di zaman Rasulullah dari keluarga terpandang, pernah terbukti mencuri. Usamah bin Zaid lantas mendatangi beliau untuk meminta keringanan agar sanksi potong tangan tidak diberlakukan. Rasulullah secara tegas menolak permintaan tersebut.
Beliau mengatakan, "Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, akan aku potong tangannya."
Rasul SAW menyindir orang-orang tersebut sebagaimana diterangkan Alquran, bahwa apabila orang-orang terpandang berbuat salah, mereka berusaha memberikan keringanan hukuman. Sementara bila pelakunya orang kecil, maka hukum ditegaskan dengan setegas-tegasnya.
"Inilah contoh kehancuran umat-umat sebelumnya," papar Rasul. Akhirnya, hukum had potong tangan pun dijatuhkan terhadap wanita tadi.
Berimbang
Salah satu syarat penting yang ditetapkan Rasulullah dalam penyelesaian sengketa ialah pelaporan yang berimbang dari kedua belah pihak. Sebuah keputusan hanya boleh diambil setelah masing-masing pihak menyampaikan argumentasi dan bukti-buktinya.
Terkait itu, Rasulullah pernah dengan tegas memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk mendengarkan laporan kedua belah pihak terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan perkara tersebut. Hal ini tak lain agar rasa keadilan dan kebenaran dapat didudukkan secara proporsional dan tepat.
Proses yang dibutuhkan untuk putusan sebuah peradilan juga tidak berlama-lama. Seorang pelapor bisa langsung mendapatkan putusan secara langsung. Hal itu bisa dilihat, misalnya, dalam sengketa utang yang pernah dijatuhkan Rasulullah kepada Ka'ab bin Malik. Beliau menyuruh agar Ka'ab bin Malik segera menunaikan utangnya.
Untuk urusan perampasan hak, Rasulullah menggunakan konsep rad al madhalim. Sebuah pranata yang digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak orang tertindas. Rasul pernah dengan tegas mengatakan, "Barangsiapa yang hartanya diambil olehku, maka silakan ia mengambilnya lagi dariku."