REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah (1993). menyebutkan ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh muadzin saat adzan dan iqamah. Disunnahkan muadzin itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut.
Pertama hendaklah adzan dengan mengharap keridhaan Allah, hingga tidak berharap menerima upah. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Turmudzi: “Hendaklah ambil sebagai muadzin, orang yang tak hendak menerima upah atas adzannya.”
Kedua, seorang muadzin haruslah suci dari hadats kecil maupun besar. Dari hadits Muhajir bin Qunfudh: “Bahwa Nabi saw. mengatakan sesungguhnya tak ada halangan bagiku untuk menjawab salamnya, hanyalah karena tiada suka menyebut nama Allah itu kecuali dalam keadaan suci.”
Ketiga, seorang muadzin hendaklah berdiri menghadap kiblat. Berdiri waktu adzan disunnahkan karena dengan demikian seruan akan lebih terdengar. Jika muadzin melanggar ketentuan ini maka hukumnya makruh, tetapi sah.
Keempat, hendaklah seorang muadzin ketika mengucapkan Hayya ‘alash-shalah menoleh kesebalah kanan. Dan ketika mengucapkan Hayya alal-falah menoleh ke sebelah kiri.
“Tidak boleh berputar, kecuali jika ia diatas menara yang dimaksudkan untuk menyampaikan adzan kepada penduduk dari kedua arah,” dalam Al-Mughni dari Ahmad.
Kemudian yang kelima, riwayat Abu Daud dan Ibnu Hibban mengatakan ketika mengumandangkan adzan masukkanlah kedua anak jarinya ke kedua belah telinganya. “Maka saya masukkanlah anak jariku ke dalam telinga dan saya pun adzan.”
Menurut Tirmudzi, para ahli ilmu memandang sunnah bila muadzin itu memasukkan dua buah jari ke kedua telinganya.
Keenam, hendaknya seorang muadzin mengeraskan suaranya saat adzan dan iqamah meski seorang diri di Padang Sahara. Kemudian yang ketujuh, Melambatkan bacaan adzan dan memisah di antara tiap-tiap dua kalimay dengan berhenti sebentar. Sebaliknya menyegerakan bacaan iqamat.