REPUBLIKA.CO.ID, Allah SWT berfirman tentang kemuliaan Alquran dalam QS al-Waqiah ayat 77-80. "Sesungguhnya ia benar-benar adalah bacaan sempurna yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara. Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba Allah yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam."
Dalam tafsir Al Misbah, Prof Quraish Shihab menjelaskan, kemuliaan Alquran tercantum dalam kata karim yang ada pada akhir ayat ke-77 surah tersebut. Karim digunakan untuk menggambarkan terpenuhinya segala yang terpuji sesuai objek yang disifatinya. Sebagai kitab suci, Alquran memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki kitab-kitab agama samawi lainnya. Tuntunan yang jelas dan menyeluruh terkandung dalam Alquran sekaligus bukti-bukti kebenarannya. Pembuktian ini langgeng hingga akhir zaman.
Quraish melanjutkan, Alquran sudah terbukti menjadi sumber inspirasi dan ilmu. Orang awam memahaminya sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan, para ilmuwan menggali misteri yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran sehingga dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Kitab suci yang terdiri dari 30 juz dan 114 surah ini pun memberi sesuatu yang baru bagi generasi demi generasi.
Kemudian, Allah SWT melanjutkan firmannya: "Maka apakah—terhadap ucapan ini— kamu bersikap meremehkannya dan kamu menjadikan rezeki kamu dengan mendustakannya?" (QS al-Waqiah [56]: 81-82). Setelah mengagungkan Alquran pada ayat 77-80, Allah SWT mengecam mereka yang meremehkan Alquran lewat ayat tersebut.
Pakar tafsir lulusan Al Azhar ini pun mengungkapkan bahwa makna meremehkan dalam ayat tersebut merupakan arti kata mudhinun yang memiliki asal kata duhn, yakni minyak. Seperti kita tahu, minyak digunakan untuk melemaskan atau melemahkan material. Karena itu, pelemahan tersebut di-majaz-kan dengan kata melemahkan. "Maka, kata tersebut dipahami dan digunakan secara umum dalam arti meremehkan."
Quraish menjelaskan, pada zaman Rasulullah SAW, kitab suci Alquran diremehkan oleh kaum musyrikin. Alquran dilekatkan dengan sesuatu yang bersifat sihir, perdukunan, dongeng, dan mitos masa lampau. Sikap ini terlahir karena mereka menyadari tidak mampu membuat kata-kata serupa dengan Alquran meski menyadari betapa indah makna yang terkandung di dalamnya.
Lebih lanjut, ayat ini pun mengaitkan sikap meremehkan ini dengan kata rezeki. Quraish mengungkapkan, meski banyak ulama memahami kata rezeki tersebut sebagai nikmat-nikmat yang langsung diberikan Allah SWT dan disebut dalam ayat sebelumnya seperti kelahiran anak, tumbuhan, hingga air tawar, ada juga ulama lain yang menafsirkan berbeda. Mengutip Thabathaba'i, Quraish menjelaskan bahwa memahami rezeki yang dimaksud ayat tersebut, yakni kebajikan-kebajikan yang harusnya dapat diraih dengan memuliakan Alquran kemudian ditukar dengan kebohongan.
Ada juga yang berpendapat bahwa dalam konteks ini, Allah SWT mengatakan kepada kaum musyrikin yang merasa takut jikalau membenarkan Alquran akan mengurangi rezekinya. "Kamu takut jangan sampai berkurang rezeki dan perolehan kamu. Ini berarti kamu menjadikan cara perolehan rezeki dengan mengingkari Alquran," tulis Quraish.