REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Islam banyak karya yang ditulis terkait dengan cara membangun hubungan harmonis suami istri, termasuk urusan ranjang. Kalangan pesantren tentu mengenal dua kitab kuning sederhana, yaitu Qurratul Uyun dan Uqudullujain, yang membahas tentang etika suami istri termasuk soal ranjang.
Dalam sejumlah hadits disebutkan, ada seni dalam urusan hubungan intim suami istri. Di antaranya hadits sebagai berikut.
Rasulullah SAW bersabda, "Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu mencampuri istri seperti bercampurnya binatang. Namun, hendaklah ada pengantarnya." Ada yang bertanya, "Apakah pengantarnya itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Ciuman dan perkataan." (HR Abu Manshur dan ad-Dailami dalam musnad al-Firdaus dari Hadis Anas).
Ada tiga perkara yang termasuk kelemahan laki-laki. Lantas, Nabi SAW menyebutkan, di antaranya dia mendekati istrinya dan langsung mencampurinya sebelum mencumbu dan merayunya dan ia menyelesaikan hajatnya sebelum istrinya menyelesaikan hajatnya (merasa puas).
Hal ini merupakan bagian dari hadits sebelumnya yang juga diriwayatkan oleh Ad Dailami. Meski hadits ini dhaif, Syekh Yusuf Qaradhawi menjelaskan, pernyataan ini sesuai dengan fitrah yang sehat.
Imam al-Ghazali lebih khusus menjelaskan, jikalau lelaki tidak egois dalam menggauli istrinya. Ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, dia hendaknya menunggu istrinya sehingga si istri pun merasa puas. Menurut al-Ghazali, saat keluarnya air (mani) itu kadang-kadang terlambat. Karena itu, ketika syahwatnya sedang bergelora, tetapi si suami sudah selesai, hal ini bisa menyakitinya.
Waktu keluarnya air yang tidak sama itu dapat menimbulkan perkara di antara mereka apabila suami lebih dahulu mengeluarkan airnya (spermanya). Apabila waktu keluarnya air (sperma dan ovum) itu bersamaan, hal itu lebih nikmat baginya. Al-Ghazali berpesan agar suami jangan sibuk memperhatikan kepentingan dirinya sendiri. Menurut dia, istri kadang merasa malu.