REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kehidupan berumah tangga, kondisi ekonomi keluarga tak selamanya stabil, bahkan membaik. Sering kali, suami, sebagai kepala rumah tangga, memeras otak dan tenaga untuk 'gali lubang' mencari pinjaman di sana-sini. Utang pun acap kali menggunung.
Namun, bagaimana bila ajal menjemput sang suami, sementara utang tersebut belum jua terbayar?
Berdasarkan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Mesir, tanggungan itu, tidak serta-merta berpindah ke ahli waris.
Bila tak terbayar, maka kewajiban utang itu menjadi tanggungan almarhum yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Istri tidak memiliki kewajiban apa pun menanggung dan memenuhi utang almarhum suaminya.
Jika dalam kasus seperti ini, sebaiknya utang tersebut ditutupi dari harta warisan almarhum suami. Oleh karena itu, Islam menekankan agar sebelum pembagian harta waris, hendaknya utang dan wasiat ditunaikan terlebih dulu.
Ini seperti yang ditegaskan dalam surah an-Nisa ayat 11. Artinya, ”(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.”
Hal itu dengan perkecualian, jika memang si istri merelakan harta untuk dialosikan menutup utang almarhum. Ini merupakan bentuk tolong-menolong dalam kewajiban.
Ketentuan serupa juga berlaku dalam kasus yang berutang dan meninggal adalah pihak istri. Suami yang ditinggalkan tidak secara otomatis menanggung beban tersebut.
Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul Al-Mufashal fi ahkam al-Marati menegaskan, pada dasarnya perempuan memiliki otoritas pengelolaan uang yang ia peroleh dari mata pencariannya sendiri.
Ia berhak mendayagunakan apa pun sesuai dengan keinginannya, tanpa intervensi dari pihak manapun. Ini banyak ditegaskan di sejumlah ayat dan hadis Rasulullah SAW. Salah satu hadis itu, seperti kisah Barirah yang dinukilkan oleh Aisyah.