REPUBLIKA.CO.ID, Jika Ghouta dikatakan Nabi SAW akan menjadi pangkalan kaum Muslimin, mengapa konflik di Damaskus dan Ghouta tak kunjung reda? Suriah pun kerap menjadi ladang pembantaian bagi umat Islam di sana.
ISIS bahkan sempat merajalela di kota tua itu. Pertanyaan pun menggelayut bagaimana membuat Ghuttah menjadi layak sebagai pangkalan militer bagi kaum Muslimin? Selain menjadi mukjizat yang dimiliki Nabi SAW, tujuan lain adanya nubuwat adalah bagaimana Nabi SAW mendorong umatnya untuk berbuat yang terbaik. Ayat Alquran yang berbunyi "Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum se hingga mereka merubah keada an yang ada pada diri mereka sendiri." (QS Ar-Ra'd:11), kian relevan dalam memaknai sebuah nubuwat.
Kisah populer bagaimana Muhammad al-Fatih merebut Konstantinopel sehingga menjadi Istanbul pun membuktikan itu. Putra dari Sultan Murad II tersebut memaknai bagaimana Nabi SAW bersabda tentang nubuwat yang meramalkan bagaimana umat Islam akan merebut Konstantinopel.
Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Abdullah bin Amr bin al-Ash. Diriwayatkan dari Abu Qubail, Rasulullah SAW bersabda, "Kota Heraklius akan ditaklukkan terlebih dahulu, yakni Konstantinopel."
Kini, kita disuguhi konflik berkepanjangan di Ghuttah dan Damaskus. Masalahnya kian pelik. Jika Muhammad al-Fatih merebut Konstantinopel melawan kaum di luar Islam, kedua kelompok berstatus sebagai Muslim.
Umat Islam di luar Timur Tengah pun kebingungan antara harus mendukung kelompok rezim atau oposisi. Untuk memulihkan Ghoutta, bahasa saat ini yang harus digunakan adalah bahasa ukhuwah. Untuk membangkitkan kembali Ghuttah dan Damaskus, harus dimulai dengan pendekatan tersebut. Saatnya kaum Muslimin di seluruh dunia tanggap dengan penderitaan kaum Muslimin di sana.