Ahad 05 Apr 2020 10:39 WIB

Empat Jenis Pernikahan yang Dilarang Islam

Keempatnya syighar, mut'ah, meminang atas pinangan orang lain, dan nikah muhalil.

Rep: Imas Damayanti/ Red: A.Syalaby
Arya dan Jihan menuai pujian setelah memilih menunda resepsi pernikahan yang mengundang 1.000 orang.
Foto: Dok Pri
Arya dan Jihan menuai pujian setelah memilih menunda resepsi pernikahan yang mengundang 1.000 orang.

REPUBLIKA.CO.ID, Pernikahan merupakan bagian dari sunnah Nabi SAW. Tidak heran jika Islam mengatur prosesi yang menjadi awal pembentukan institusi terkecil pada peradaban manusia ini. Meski bagian dari sunnah, ada beberapa jenis pernikahan yang ternyata terlarang dalam Islam.

Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, menjabarkan, terdapat empat jenis pernikahan yang secara tegas dilarang oleh agama. Keempatnya adalah nikah syighar, nikah mut'ah, meminang atas pinangan orang lain, dan nikah muhalil.

Para ulama mazhab sepakat bahwa nikah syighar maksudnya nikahnya wali yang menikahkan gadis yang harusnya dinikahi kepada seorang pria tanpa mahar. Dengan bahasa mudahnya, nikah syighar adalah nikahnya seorang wali dengan seorang wanita yang berada dalam perwaliannya.

Nikah jenis ini dilarang dalam agama. Para ulama mazhab menyandarkan argumentasi tersebut berdasarkan hadits sahih. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang artinya sebagai berikut: "Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW melarang nikah syighar."

Meski demikian, para ulama tersebut berselisih pendapat mengenai hal lain yang berkaitan dengan perkara ini. Misalnya, apabila terjadi pernikahan syighar, apakah pernikahan tersebut dapat disahkan dengan memberikan mahar mitsil atau tidak? Para ulama kalangan mazhab Malik berpendapat, hukum pernikahan tersebut tetap tidak bisa dan harus dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum dukhul (berhubungan intim).

Sementara itu, ulama dari kalangan mazhab Syafi'i berpendapat serupa. Meski demikian, menurut pandangan ulama-ulama garis ini, jika salah seorang pengantin atau keduanya sekaligus disebutkan ada maskawin, pernikahannya dianggap sah dengan mahar mitsil.

Adapun ulama kalangan mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat, nikah syighar sah dengan memberikan mahar mitsil. Silang pendapat ini karena adanya persoalan apakah larangan yang terkait dengan masalah itu dapat dijelaskan alasannya karena tidak adanya ganti atau tidak.

Sementara itu, nikah mut'ah alias nikah kontrak juga mendapat porsi hukum yang sama di kalangan ulama mazhab. Mereka sepakat bahwa nikah kontrak dilarang dalam agama.

Perihal nikah mut'ah, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa seluruh ulama mazhab mengharamkannya. Ada beberapa hadits mutawatir dari Rasulullah SAW yang mengharamkannya. Meski demikian, hal itu diperselisihkan tentang waktu keluarnya larangan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW melarang praktik nikah mut'ah ini dalam peristiwa penaklukan Kota Makkah.

Dalam faktanya, nikah mut'ah hingga kini masih kerap dipraktikan oleh kalangan tertentu. Sayangnya, praktik nikah mut'ah itu kerap membawa-bawa nama agama Islam sebagai rujukan dasar hukum adanya pernikahan tersebut.

Padahal, jika ditelisik lebih jauh, hadirnya nikah mut'ah ini secara tegas dan meyakinkan telah dilarang Rasulullah SAW. Tak hanya itu, ulama-ulama mazhab pun sepakat menghukuminya sebagai pernikahan yang dilarang. Semoga Allah menjauhkan kita dari praktik pernikahan semacam itu.

Pernikahan selanjutnya yang diharamkan dalam agama adalah pernikahan atas pinangan orang lain. Dalam kasus ini, para ulama membaginya ke dalam tiga aspek hukum. Pertama, pernikahan tersebut batal. Kedua, pernikahannya tidak batal. Ketiga, dibedakan apakah pinangan yang kedua dilakukan sesudah adanya kecenderungan dan mendekati pemufakatan atau tidak. Aspek ketiga ini merupakan penjabaran dari pandangan Imam Malik.

Pernikahan lain yang diharamkan adalah nikah muhalil atau nikah untuk menghalalkan mantan istri yang telah ditalak bain. Menurut pendapat ulama mazhab Imam Malik, nikah semacam ini hukumnya batal.

photo
Resepsi pernikahan (ilustrasi) - (Reiny Dwinanda/Republika)

Sementara itu, menurut mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Syafi'i, nikah ini sah. Meski demikian, ulama mazhab Syafi'i meletakkan syarat dalam bolehnya nikah tersebut. Perselisihan pendapat para ulama ini disebabkan adanya perselisihan pemaknaan hadits Rasulullah SAW. 

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement