REPUBLIKA.CO.ID, Setelah 53 hari berjibaku angkat senjata,dengan semangat jihad pasukan Sultan Muhammad akhirnya berhasil menguasai Konstantinopel. Harapan dan impian umat Islam untuk menundukkan Bizantium yang telah dirintis sejak 664 M akhirnya tercapai. Kemenangan yang tertunda selama 800 tahun itu akhirnya tiba juga.
Sejak saat itu, bendera Kerajaan Ottoman berkibar di langit Konstantinopel, kota impian para raja, kaisar dan sultan. Konstantinopel pun memasuki era baru. Kota itu lalu berganti nama menjadi Istanbul yang berarti ‘kota Islam’, sekaligus menjadi ibukota Kerajaan Ottoman.
Sebuah momentum penting dalam sejarah dunia. Kali pertama menduduki kota penting itu, Kerajaan Ottoman mulai menegakkan hukum di kota itu. Tak ada pembantaian terhadap penduduk Konstantinopel. Bahkan, pemerintahan Islam Ottoman bekerja sama dengan umat Kristen untuk kembali membangun perekonomian, menjalin persahabatan dengan Yunani.
Dinasti Ottoman juga terus mengepakkan sayap kekuasaannya ke wilayah Mesir, Arab, dan Suriah. Yang tak kalah pentingnya, kerajaan Ottoman menyebarkan ajaran Islam hingga ke kawasan Balkan. Seiring dengan menancapnya dominasi Islam, wajah bekas kota Konstantinopel itu pun berganti rupa.
Bangunan masjid bermunculan, namun tetap dengan corak arsitektur Bizantum yang khas. Tak heran, jika pengaruh Bizantium ikut mewarnai gaya arsitektur Islam di Turki.
Kemegahan bangunan Gereja Aya Sofia banyak mewarnai arsitektur masjid di Istanbul. Di bawah kekuasaan Daulah Usmani, Istanbul terus berbenah.
Pembangunan pun terus berlanjut, sepeninggal Sultan Muhammad (Mehmed) II. Pada era kepemimpinan Sultan Sulaiman I (1520-1566), pada 1550 di Istanbul berdiri Masjid Sulaiman. Bangunan masjid itu berdiri kokoh dengan empat menara dan kubahnya lebih tinggi dari Aya Sofia.
Guna menambah jumlah penduduk Muslim di Istanbul, umat Islam yang tinggal di Anatolia dan Rumeli dianjurkan untuk bermigrasi ke Istanbul. Akhir 1457, migrasi besar-besaran terjadi dari Edirne bekas ibu kota Kerajaan Ottoman ke Istanbul.
Pada 1459, kota terbesar di Eropa itu dibagi menjadi empat wilayah administratif.Sebagai sebuah kota besar pada zamannya, di Istanbul pun berdiri berbagai sarana dan prasarana publik.
Tak kurang ada 81 masjid besar serta 52 masjid berukuran sedang di kota itu. Untuk mendidik para generasi muda, tersedia 55 madrasah, tujuh asrama besar untuk mempelajari Alquran. Fasilitas sosial pun bermunculan, tak kurang lima takiyah atau tempat memberi makan fakir miskin berdiri.
Tiga rumah sakit disediakan untuk mengobati penduduk kota.Tujuh buah jembatan juga dibangun untuk memperlancar arus transportasi.Guna menunjukkan kejayaannya, Kerajaan Usmani membangun 33 istana dan 18 unit pesanggrahan.
Selain itu, 33 tempat pemandian umum juga telah disediakan di berbagai penjuru kota. Untuk menyimpan benda-benda bersejarah, pemerintah Ottoman pun menyediakan lima museum.
Pada 14 Juli 1509, Istanbul sempat diguncang gempa bumi dahsyat atau yang dikenal sebagai ‘kiamat kecil’. Ribuan bangunan yang awalnya berdiri kokoh akhirnya luluh lantak. Mulai 1510 M, Sultan Bayezid bahu membahu membangun kembali kota Istanbul selama 80 tahun. Hingga akhirnya,kota Istanbul kembali tampil megah dan gagah.
Pada tahun 1727 M pada masa Ibrahim Muteferika seorang ilmuwan terkemuka di Istanbul dibuka percetakan. Seiring dengan lahirnya fatwa dari Syekh Al-Islam kerajaan, buku-buku selain Alquran, hadits, fikih, ilmu kalam dan tafsir juga mulai diperbolehkan untuk dicetak.
Sejak itulah, buku-buku tentang kedokteran, astronomi, ilmu pasti,sejarah, dan lainnya dicetak.Apalagi mulai 1727 sudah mulai berdiri badan penerjemah.Sayangnya, ketika imperium Ottoman memegang kendali kekuasaan, jejak peradaban yang ditinggalkan pada abad ke-8 M sampai ke-13 M tak dilanjutkan.
Dinasti Ottoman lebih berkonsentrasi membangun pertahanan dan armada perang untuk memperluas wilayah kekuasaan, ketimbang membangun universitas dan pusat-pusat riset ilmu pengetahuan.