REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perceraian yang terjadi bagi sebuah keluarga biasanya terjadi dalam dua macam. Perceraian pertama terjadi saat masih hidup, sementara perceraian kedua disebabkan oleh kematian. Dari perceraian ini, muncullah istilah masa iddah bagi muslimah. Iddah adalah waktu tertentu untuk menanti pernikahan yang baru menurut agama.
Menurut bahasa, iddah berarti menghitung sesuatu. Sementara secara bahasa, menurut para ulama dengan madzhab Hanafi, iddah sebuah kata untuk batasan waktu dan ungkapan untuk menunjukkan apa yang masih tersisa dari bekas nikah.
Madzhab Maliki mengatakan bahwa iddah adalah waktu atau masa yang dijadikan sebagai bukti atas bersihnya rahim karena terjadinya perpisahan dalam pernikahan ataupun karena kematian suami atau karena talak dari suami.
Masa iddah ini disepakati para ulama sebagai hal yang wajib diikuti oleh tiap muslimah yang ditinggal meninggal suami atau ditalak. Hal ini karena perihal iddah telah dijelaskan dalam Alquran dan sunnah. Dalam QS al-Baqarah ayat 228, Allah SWT berfirman, "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'."
Dalam HR Bukhari disebutkan dari Ummu Salamah istri Nabi SAW bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai'ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanabil bin Ba'kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, "Demi Allah, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi SAW dan Nabi bersabda, "Menikahlah!"
Masa iddah tidak berlaku bagi muslimah yang berpisah dari suaminya namun belum pernah melakukan hubungan badan. Aturan masa iddah hanya berlaku bagi yang telah melakukan hubungan suami istri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS al-Ahzab ayat 49, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."
Adapun disebutkan fungsi lain dari masa iddah adalah untuk menjaga keturunan. Ketika seorang berpisah dan menjalankan masa iddah, fungsinya adalah untuk memastikan rahim perempuan itu benar-benar bersih. Sehingga jika ada laki-laki yang menikahi perempuan itu, maka benar-benar sudah bersih dan tidak ada lagi campuran air mani dari suami sebelumnya. Jika sampai terjadi campuran,dikhawatirkan mengakibatkan ketidakjelasan kandungan itu anak siapa, juga hilangnya keturunan yang jelas.
Masa iddah seorang muslimah tergantung pada kondisinya saat itu. Wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya baru berakhir setelah ia melahirkan sang buah hati.
Aturan ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS ath-Thalaq ayat 4, "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." Ayat ini dikuatkan dengan HR Bukhari dan Muslim yang menyebutkan, "Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi lantas meminta izin untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, dan ia segera menikah (lagi)."
Bagi muslimah yang ditinggal meninggal oleh suami tidak dalam kondisi hamil, maka masa iddah nya adalah empat bulan sepuluh hari. Dalam al-Baqarah ayat 234 Allah SWT berfirman, "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah Para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat."
Aturan lain berlaku bagi wanita yang diceraikan atau ditalak oleh sang suami. Ada dua macam talak yang bisa dikenakan suami kepada sang istri, yakni talak raj'i atau talak yang masih bisa rujuk, dan talak ba'in atau talak tiga dan ini tidak bisa kembali rujuk.
Bagi wanita yang dicerai dengan talak raj'i saat dalam keadaan haid, maka masa iddah muslimah ini adalah tiga kali haid. Bagi wanita yang tidak haid masa iddah yang berlaku adalah tiga bulan. Sementara bagi yang sedang hamil, maka sesuai yang disebutkan sebelumnya, masa iddah muslimah ini hingga sang anak lahir.
Sementara bagi wanita yang telah di talak tiga, hanya perlu menunggu sekali haid untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, "Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh." Dengan wanita ini mengalami haid, maka dipastikan jika ia tidak hamil sehingga boleh menikah dengan lelaki lain.
Aturan masa iddah sekali haid juga berlaku bagi muslimah yang menggugat cerai. Dalam HR Abu Daud dan Tirmidzi disebut, "Dari Ibnu Abbas ra bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi. Lalu Nabi memerintahkannya untuk menunggu sekali haid."