REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang hidup Rasulullah, selama itu pula Bilal bin Rabah menjadi muazin beliau shalallahu 'alaihi wasallam. Rasul SAW sangat senang dengan suara Bilal. Tentunya demikian halnya dengan seluruh kaum Muslimin.
Ketika Rasulullah SAW wafat, dan jenazah insan paling mulia itu dikafankan, Bilal segera berdiri untuk mengumandangkan azan. Begitu sampai pada kalimat Asyhadu anna muhammadan rasuulullaah, tiba-tiba suaranya terhenti.
Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum Muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah SAW, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, Asyhadu anna muhammadan rasuulullaah, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula, kaum Muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari Kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Dan, permintaan itu dikabulkan Abu Bakar kendati dengan berat hati.
Waktu terus berjalan. Kepemimpinan umat kini berada di bahu Umar bin Khattab. Suatu ketika, Umar berada di Damaskus. Sang khalifah lantas bertemu dengan Bilal. Kepada sang muazin ini, ia langsung melepaskan kerinduannya. Umar ingin betul mendengar lagi suara azan Bilal. Amirul Mukminin ini meminta sekali lagi agar sang pelantun panggilan tauhid itu bersedia untuk mengumandangkan azan.
Lalu, ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar, Umar tidak sanggup menahan tangisnya. Sahabat lain pun turut menangis. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah SAW. Bilal, 'sang pengumandang seruan langit itu', tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.