REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam Islam, aspek kehalalan sebuah makanan dan minuman (mamin) yang hendak dikonsumsi menjadi syarat wajib. Bahkan tak hanya makanan, aspek halal juga diharuskan kepada hal lain semisal proses mencari rezeki ataupun membeli barang-barang tertentu. Lantas, bolehkah memakan makanan yang diberikan non-Muslim?
Sejatinya, status kehalalan dan keharaman dalam mamin yang hendak dikonsumsi ditentukan oleh dua hal. Keduanya antara lain zat dan juga cara mendapatkan mamin tersebut. Dalam Alquran, seluruh mamin dihalalkan kecuali jika terdapat nash yang mengecualikan atau mengharamkan mamin tersebut secara zat.
Sedangkan cara mendapatkan mamin atau rezeki yang kita peroleh pun menjadi syarat krusial lainnya. Dalam contoh hukum mengonsumsi makanan dari non-Muslim, boleh dilakukan asalkan zat di dalam makanan tersebut tidak tergolong zat-zat yang diharamkan. Selain itu, proses untuk menjadikan makanan itu pun harus dilalui dengan halal.
Misalnya, apabila makanan yang diberikan ke seorang Muslim itu adalah opor ayam, maka perlu dipastikan ayamnya ketika disembelih telah melalui proses halal dan Islam. Tak hanya itu, memasak opor ayam tersebut pun tak boleh sembarangan.
Alat masak yang hendak digunakan untuk memasak opor ayam tadi juga perlu dipastikan tidak bekas memasak makanan-makanan yang mengandung zat haram. Apalagi apabila alat masak tersebut sebelumnya tidak dicuci, maka sudah dipastikan zat haram dari makanan sebelumnya masih menempel.
Kendati demikian apabila proses-proses tersebut ditempuh secara halal, maka makanan tersebut dihukumi halal meski dimasak oleh non-Muslim. Dalam kitab I’anatut Thalibin disebutkan, makanan yang dimasak secara halal oleh non-Muslim untuk seorang Muslim, maka dapat dihukumi suci atau halal.
Ustaz Ahmad Sarwat dalam situs Rumah Fiqih Indonesia menjelaskan, halal haram sebuah makanan dalam Islam diukur dari kaidah-kaidah dan syariat yang telah diatur. Dia sepakat bahwa penentuan hukum halal-haramnya sebuah makanan ditentukan dari zat dan cara memperolehnya.
Untuk itu apabila kedua hal tadi dapat dipenuhi, maka sekalipun makanan yang dikonsumsi oleh seorang Muslim itu berasal dari orang yang non-Muslim, maka hukum memakannya halal dan boleh.
Sedangkan untuk proses penyediaan makanan, dia menggarisbawahi, apabila makanan yang diberikan berupa daging, maka hal itu perlu dilihat dari berbagai aspek. Dia mengatakan, mengutip beberapa pendapat ulama, daging yang disembelih oleh non-Muslim yang beragama Yahudi dan Nasrani dihukumi halal bagi umat Islam.
Sebab kedua agama tersebut merupakan agama Samawi. Sedangkan bagi kebanyakan ulama, kata dia, tidak menjadikan penyebutan nama Allah SWT sebagai syarat sahnya penyembelihan. Sedangkan selain agama Samawi, daging-daging sembelihan terkadang disembelih dengan niat untuk dipersembahkan kepada dewa atau roh sesembahan lainnya.
Apalagi, daging tersebut menjadi haram apabila hewan-hewan yang disembelih itu dikhususkan untuk sesajen dan makhluk halus. Hal tersebut jelas menjadi haram, karena dalam Islam hal itu sama saja dengan perbuatan syirik dan menyekutukan Allah SWT.
Secara umum, halal-haramnya makanan yang diberikan oleh non-Muslim berkutat pada dua hal tadi. Selebihnya, kehalalan dan keharaman makanan tersebut bersifat umum dan tidak dipengaruhi oleh apakah sumbernya merupakan Muslim atau non-Muslim.
Namun begitu, dalam kehidupan sehari-hari alangkah baiknya bagi setiap Muslim untuk selalu menerapkan kehati-hatian dalam memakan makanan yang hendak dikonsumsi. Sebab tanpa kehati-hatian, makanan yang dikonsumsi bisa saja bersifat syubhat, makruh, atau bahkan haram.
Untuk itulah ada baiknya sikap kritis dalam memilih makanan yang hendak dikonsumsi menjadi penting. Namun kritis di sini bukan berarti menolak sama sekali pemberian makanan yang diberikan oleh kalangan non-Muslim. Apalagi jika makanan yang diberikan tersebut telah kita ketahui kehalalannya, maka alangkah baiknya untuk diterima sebagai bentuk terima kasih dan keramahtamahan.