Oleh: Rahmadi Wibowo
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي طَلْحَةَ الْتَمِسْ غُلَامًا مِنْ غِلْمَانِكُمْ يَخْدُمُنِي فَخَرَجَ بِي أَبُو طَلْحَةَ يُرْدِفُنِي وَرَاءَهُ فَكُنْتُ أَخْدُمُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا نَزَلَ فَكُنْتُ أَسْمَعُهُ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ (رواه البخارى)
“Dari Anas bin Malik bahwa Nabi Saw bersabda kepada Abu Talhah: Carilah seorang anak kecil dari milikmu untuk melayaniku (selama kepergianku ke Khaibar). Abu Talhah keluar bersamaku dengan memboncengku. Saat itu aku adalah seorang anak kecil yang hampir baligh. Aku melayani Rasulullah SAW saat beliau singgah dan aku selalu mendengar Nabi banyak berdoa: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat (jiwa) gelisah, sedih, lemah, malas, kikir, pengecut, terlilit hutang, dan dikuasai manusia” (HR al-Bukhari).
Allah SwT menganugerahkan jiwa pada manusia yang nilainya tak terhingga. Dengannya, manusia merasakan suka, duka, bahagia, derita, kecewa, dan kedamaian. Ia keajaiban yang datang dari Allah, di mana selalu menuntun manusia pada cahaya kebenaran. Tapi, seperti tubuh, jiwa dapat merasakan sehat dan sakit. Terdapat delapan penyakit jiwa yang secara lugas disebutkan Nabi dalam Hadis di atas.
Pertama: Gelisah (Al-Hamm)
Gelisah diartikan sebagai keadaan cemas dan selalu merasa khawatir, serta tidak sabar dalam menanti sesuatu. Penyebabnya misalnya kurang percaya diri, sehabis berbohong, demam panggung, hingga rasa bersalah terhadap suatu hal. Sigmund Freud menyimpulkan bahwa kegelisahan adalah ekspresi dari kecemasan mendalam. Ia muncul karena orang takut kehilangan hak-haknya, baik materi, misal takut kehilangan harta dan jabatan, maupun non-materi semisal takut kehilangan popularitas hingga takut tidak selamat di hari akhir.
Agar jiwa tidak gelisah, dituntunkan untuk selalu berbuat kebaikan, di antaranya jujur dalam ucapan dan tindakan. Imam al-Nawawi menyebut, dosa selalu menggelisahkan dan tidak tenangkan jiwa, seperti Hadis:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك ، فإن الصدق طمأنينة ، وإن الكذب ريبة (رواه أحمد)
“Tinggalkan dan beralihlah dari sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu lain yang tidak meragukanmu. Sungguh kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedang dusta menggelisahkannya” (HR Ahmad).
Kedua: Kesedihan (Al-Hazan)
Sedih dapat terjadi pada diri seseorang akibat masa lalu yang buruk menimpanya, seperti musibah, kecelakaan, ditinggal orang yang disayangi, dan terkait dengan masa lalu. Dalam Islam, sedih tidak terlarang karena bagian naluri manusia, bahkan setelah berbuat dosa yang merupakan hal terpuji. Sabda Nabi Saw: “idza saratka hasanatuka wa sa’atka sayyiatuka fa anta mu’min”, jika kamu merasa gembira karena amal baikmu dan sedih karena amal burukmu, maka kamu beriman” (HR At-Tirmidzi). Kesedihan yang dilarang adalah yang berlarut-larut, membuat hati lemah, rasa optimis hilang, dan menghancurkan harapan yang akan membawa keputusasaan dan membenci Allah. Hingga setan mendorong melakukan hal-hal yang dilarang. Allah SwT berfirman:
إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya pembicaraan bisik-bisik itu hanyalah dorongan dari setan. Supaya menjadikan hati orang beriman sedih. Padahal pembicaraan rahasia untuk menggunjing tidak akan merugikan orang beriman sedikitpun, kecuali dengan kehendak Allah. Hanya kepada Allah-lah hendaknya orang yang beriman bertawakkal” (Qs. Al-Mujadalah: 10).
Cara untuk mengatasi kesedihan di antaranya: (a) meyakini bahwa Allah selalu bersama kita, mengawasi dan memberikan kasih sayang melalui nikmat-Nya; (b) meyakini kehidupan dunia adalah sementara, tidak kekal. Kaum sufi mengajarkan untuk meletakkan dunia dalam genggaman, bukan di hati; (c) melihat ke bawah dalam urusan duniawi yang ada pada orang lain; (d) dan agar sedih tidak berlarut adalah dengan sabar dan shalat.
Ketiga: Lemah (Al-‘Ajz)
Lemah di sini berarti tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan, namun menundanya di lain waktu atau melakukan perbuatan yang tidak tuntas. Lemah bersifat umum meliputi urusan dunia dan agama. Antonimnya adalah al-hazm, yaitu tekad dan berkemauan keras. Dalam Hadis tersebut:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ (رواه مسلم)
“Mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah dari mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan lemah. Jika tertimpa suatu musibah, jangan engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan begini begitu. Tapi ucapkan: ‘Ini ketentuan Allah. Setiap apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu setan” (HR Muslim).
Setiap Muslim dituntut untuk kuat imannya, yang berarti mampu melaksanakan perintah, meninggalkan larangan, dan melakukan amalan tersebut hingga selesai, tidak menundanya. Ibnu ‘Atha berujar, “Pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!” Sabda Nabi SAW: “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap” (HR Muslim). Tambah Ibnu Umar ra.: “Bila engkau di sore hari, jangan menunggu datangnya pagi. Bila engkau di pagi hari, jangan menunggu datangnya sore. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, waktu hidupmu sebelum matimu”.
Keempat: Malas (Al-Kasal)
Malas adalah tidak adanya kemauan dan merasa berat untuk melakukan pekerjaan, walaupun sebenarnya mampu menyelesaikannya. Bagi Raghib al-Ashfahani, malas adalah merasa berat dalam suatu urusan yang seharusnya tidak perlu merasa berat. Tiga alasan kenapa Islam mencela sifat malas. Pertama, jiwa menjadi buruk. Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ (رواه البخارى)
“Bila seorang hamba bangun malam, lalu berdzikir, lepaslah satu ikatan (setan). Bila ia berwudhu, lepaslah satu ikatan lagi. Jika ia shalat, lepaslah seluruh ikatan (setan tersebut). Di pagi hari, jiwanya akan bersemangat dan baik. Jika tidak bangun, jadilah jiwanya jelek dan malas” (HR al-Bukhari).
Kedua, malas adalah sifat orang munafik. Allah SwT berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan bila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (Qs An-Nisa’: 142).
Ketiga, malas mendatangkan penyesalan. Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Miftah Dar al-Sa’adah menyebut, malas akan melahirkan sifat menyia-nyiakan waktu, berlebihan, tidak memperoleh apa pun, dan penyesalan yang sangat parah. Pun orang akan menafikan sifat keinginan dan kekuatan, yang keduanya adalah buah dari ilmu. Bila seseorang ketahui kesempurnaan dan kenikmatannya pada sesuatu, ia akan mencari dengan usaha dan keinginan yang kuat. Pada dasarnya, setiap orang akan selalu berusaha untuk menggapai kesempurnaan diri dan kelezatannya.
Penyebab utama kemalasan adalah terlalu banyak tidur dan berangan-angan kosong yang membuat hati keruh. Jiwa merasa tidak punya semangat untuk menghabiskan waktu dengan kebaikan. Allah SwT, memerintahkan pada malam hari tidak seutuhnya digunakan untuk tidur, tapi juga digunakan untuk beribadah. Firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا . . . إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Hai orang yang berselimut (Muhammad(, bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit . . . Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang” (Qs Al-Muzammil: 1-3, 20).
Angan-angan kosong menjadikan manusia malas dan membuang waktu dalam kesia-siaan buaian lamunan. Inilah ciri orang kafir yang dikecam Allah dalam firman-Nya:
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” (Qs Al-Hijr: 2-3).
Menghilangkan penyakit malas dapat dilakukan dengan memilih pergaulan yang baik, dimana mendukung seseorang mengisi hidup dengan hal-hal positif. Teman yang rajin, mendorong diri untuk meniru dan ikut dalam berbuat baik. Al-Bukhari meriwayatkan Hadis dari Abu Musa:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ لَا يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً (رواه البخارى)
“Permisah teman duduk yang baik dan teman yang jelek, bagaikan penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Penjual minyak wangi, engkau akan membelinya atau engkau mendapat bau wanginya. Adapun tukang pandai besi, dapat membakar rumahmu, bajumu atau engkau mendapat baunya yang tidak enak” (HR. Al-Bukhari).
Cara lain menghilangkan malas dengan mengingat pentingnya waktu yang hakikatnya tidak berulang. Menyia-yiakannya, menjadikan hidup tidak berarti.
Kelima, kikir (al-bukhlu)
Kikir berarti menahan harta dengan tidak menunaikan hak dan kewajiban berkaitan dengan harta tersebut. Al-Quran mengecam sifat kikir dengan menyebut harta yang ditanam tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya.
وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُ إِذَا تَرَدَّى
“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa” (Qs Al-Lail: 8-11).
Kikir muncul karena berlebihan cinta harta, merasa hartanya miliknya sendiri, takut harta hilang, takut miskin dan merasa tidak butuh orang lain. Sifat ini banyak ditemui saat seseorang memiliki kecukupan harta. Di sinilah, manusia diuji untuk saling berbagi.
Keenam, takut (al-Jubnu)
Takut berarti tidak berani menghadapi kenyataan atau dimaksudkan pengecut, seseorang yang tidak siap memenuhi tanggung jawab. Jiwa penakut cenderung berbohong agar kesalahanya tertutupi dan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Akibatnya, muncul rasa was-was dan ragu dalam berkata dan bertindak, pesimis, dihantui bayangan kegagalan dan sulit menentukan sikap di saat penting, karena tidak memiliki keberanian moral. Menghindari al-jubnu dengan mempersiapkan semua urusan yang akan dihadapi. Ibnu Hazm berkomentar, “Bersiaplah menghadapi sesuatu yang tidak disukai, berkurang sedihmu bila sesuatu itu datang. Kegembiraanmu semakin besar dan berlipat bila datang padamu, sesuatu yang kau sukai, dan tidak diperkirakan sebelumnya“.
Ketujuh dan kedelapan, Terlilit Hutang (Dhal’u al-Dain) dan dikuasai orang (qahru ar-rijal)
Orang yang berhutang umumnya merasa tertekan dan jika tidak sanggup membayar, rela melakukan perintah apa saja (qahru ar-rijal) dari orang yang menghutangi asalkan lunas, bahkan rela menjual diri dan kehormatannya, karena ia dalam kendali pihak yang memberikan piutang. Berhutang dalam Islam adalah dibolehkan. Berdosa jika seseorang tidak menunasinya. Hadis di atas bertujuan agar orang segera melunasi hutang tepat pada waktu yang dijanjikan. Sabda lain Nabi saw.:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْناً، وَهُوَ مُجْمِعُ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ، لَقِيَ اللَّهَ سَارِقاً (رواه ابن ماجه)
“Siapa yang berhutang lalu berniat tidak melunasinya, ia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dengan status pencuri” (HR. Ibnu Majah).
Rahmadi Wibowo, Dosen Prodi Tafsir Hadis, FAI UAD Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 5-6 Tahun 2017