REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buku Al-Fiqh 'alaa al-Madzaahib al-Arab'ah (Fikih menurut keempat mazhab) mengemukakan apa saja yang diharamkan bagi orang yang dalam keadaan junub (termasuk menstruasi).
Yang tidak boleh dikerjakan bagi orang junub adalah amalan-amalan keagamaan yang bersyarat adanya wudhu. Sebagai contoh, shalat sunah atau wajib.
Atas dasar ini, maka tak ada larangan bagi orang junub, termasuk perempuan yang sedang haid, untuk memotong kuku atau menahan beberapa helai rambutnya yang rontok. Sebab, kedua perbuatan itu tak mensyaratkan adanya wudhu.
Di satu sisi, ada anggapan umum yang seolah-olah mewajibkan seluruh anggota tubuh, termasuk kuku yang dipotong/terpotong serta rambut yang rontok, untuk termandikan.
Padahal, tidak ada nash atau tuntunan terkait anggapan itu, baik dari Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Boleh jadi, anggapan itu muncul karena orang-orang menduga, badan seseorang menjadi najis saat ia dalam keadaan junub. Padahal, dugaan ini keliru.
Nabi SAW tidak mewajibkan bagi yang junub--termasuk yang sedang haid--untuk bersegera mandi. Orang yang junub baru harus mandi saat akan shalat atau membaca Alquran.
Sebuah riwayat menyatakan, Nabi SAW pernah berdiri untuk shalat berjamaah. Tiba-tiba, beliau teringat belum mandi. Karena itu, beliau segera pergi mandi, untuk kemudian melaksanakan shalat. Hadis ini diriwayatkan keenam perawi hadis utama, kecuali at-Tarmizy, melalui Abu Hurairah.
Memang, ada satu hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib: "Barangsiapa yang mengabaikan satu bagian dari tempat tumbuhnya rambut saat mandi junub sehingga tidak terkena air, maka Allah akan memperlakukannya begini dan begini di neraka."
Riwayat di atas memiliki kelemahan dalam sanadnya. Riwayat itu juga tidak membicarakan tentang rambut yang dipotong atau bahkan rambut, melainkan "tempat tumbuhnya rambut."
Dalam hal mandi wajib, mazhab Abu Hanifah menggarisbawahi, kewajiban untuk membasahi seluruh anggota badan yang dapat disentuh oleh air selama hal tersebut tidak menyulitkan.
Dalam konteks itu, ulama mendiskusikan harus-tidaknya saat mandi wajib rambut yang digulung atau diikat sebagian atas sebagian yang lain untuk diurai terlebih dahulu. Abu Hanifah tidak mewajibkannya, cukup membasahi.
Begitu pula dengan Imam Malik, tidak mewajibkan mengurai rambut yang tersanggul selama ikatannya tidak terlalu ketat sehingga air dapat mengalir ke dalam.
Alasan mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Ummu Salamah bertanya kepada Nabi SAW, "Aku adalah seorang wanita yang mengikat rambutku, apakah aku harus mengurainya dalam rangka mandi junub atau akibat mens?"
Nabi SAW menjawab, "Tidak! Cukup engkau menuangkan sedikit air ke atas kepalamu sebanyak tiga kali."
Adapun menurut mazhab Imam Syafi'i, sanggul atau ikatan rambut harus diurai terlebih dahulu apabila air tidak sampai mengenai rambut itu. Akan tetapi, beliau berpendapat, agama memaafkan bagian dalam dari rambut yang terikat untuk tidak terkena air.
Wallahu a'lam bishowab