REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah suatu istilah untuk menunjukkan himpunan kaidah-kaidah hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab fikih empat mazhab. Seluruh pandangan ulama terkait fikih itu disatukan dalam bentuk buku yang disusun dengan memakai bahasa
perundang-undangan.
KHI menjadi pegangan hakim di pengadilan agama dalam memutus sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah dan lain-lain yang para pihaknya adalah Muslim. Ahmad Zarkasih Lc dalam bukunya Ahli Waris Pengganti Pasal Waris Bermasalah Dalam KHI menyampaikan, ide pembetukan KHI bermula pada 21 Maret tahun 1985.
Ketika itu, muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Menteri Agama Nomor 07/KMA/1985 tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam Melaiui Yurisprudensi.
"Dalam SKB tersebut terdapat instruksi kepada kementrain agama untuk membentuk sebuah tim yang berisi ulama dan sarjana serta cendikiawan Islam yang ditugasi untuk membentuk pembangun hukum Islam melalui jalur yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum," katanya.
Pekerjaan tim tersebut, lanjut Zarkasih, ialah mengkaji kitab-kitab fikih Islam yang selama ini dipakai para hakim di pengadilan agama. Tujuannya agar kajian yang ada sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia serta menuju tata hukum nasional.
Menurut para peneliti dan sejarawan, munculnya SKB tersebut dilatarbelakangi kekhawatiran, yakni tidak adanya satu kitab hukum resmi sebagai rujukan standar dalam memberi putusan pada perkara-perkara di pengadilan agama. Keadaan yang berbeda dengan lingkungan peradiian umum (KUHPerdata).
Zarkasih mengatakan, sebelum adanya KHI, hakim dalam mengambil keputusan di pengadilan agama biasanya menggunakan kitab fikih yang sudah berumur. Dalam arti, kitab-kitab itu ditulis ulama dari abad lampau.
Akibatnya, sering muncul putusan yang tidak seragam. Sebab, rujukan dan pedoman kitab-kitab yang dipakai memang tidak seragam. Misal, perkara yang sama boleh jadi mendapatkan putusan yang berbeda karena ditangani hakim yang berbeda dan berbeda pula rujukan kitabnya. Para hakim pun punya kecenderungan yang berbeda dalam memilih kitab rujukan.
"Apabila kebetulan hakim yang memberi putusan pada tingkat pertama berbeda kitab rujukannya dengan hakim yang lain pada tingkat banding, maka tidak dapat dihindarkan lagi, terjadi putusan yang berbeda," kata dia.
Hal itu tidak sejalan dengan prinsip kepastian hukum. Melihat masalah itu, Kementerian Agama merasa sangat perlu untuk mengadakan satu kitab rujukan standar bagi para hakim agama dalam menentukan putusan masalah mereka di pengadilan.
Akhirnya, Kemenag menggandeng MA sebagai induk pengadilan untuk membuat SKB yang ditandatangani pada 1985 itu.
Kitab-kitab fikih rujukan
Zarkasih mengatakan ada 13 kitab fikih yang menjadi rujukan hakim Pengadilan Agama. Kitab-kitab ini kemudian disebut dalam ketetapan Kemenag yang menjadi rujukan hakim di lingkungan peradilan agama.
Kemenag hanya membatasi 13 kitab fikih sebagai rujukan. Harapannya, hal itu dapat meminimalkan potensi ketidakseragaman putusan.
Berikut ke-13 kitab yang menjadi rujukan.
- Hasyiyah Al-bajuri,
- Fathul Mu'in,
- Al-Syarqowi 'ala al-Tahrir,
- Hahsyiyah Qalyubi,
- Fathul-Wahhab dengan syarahnya,
- Tuhfah al-Muhtaj,
- Targhibul-Musytaq,
- Al-Qawanin al-Syar'iyah li Sayyid Utsman bin Yahya,
- Al-Qawanin al-Syar'iyah li Sayyid bin Saqadah Dahlan,
- Al-Syamsuri fi al-Faraidhi,
- BughyatuI Musytarsyidin,
- Al-fiqhu 'ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, dan
- Mughni al-Muhtaj.
Seluruhnya itu mengikuti corak mazhab fikih Syafii. Akan tetapi, di lapangan masih terjadi ketakpastian hukum dalam putusan di lingkungan peradilan agama. Akhirnya, muncul ide untuk membentuk sebuah kaidah hukum yang bergaya undang-undang, dengan adanya pasal-pasal sebagai rincian hukum.
"Karena itulah kemudian, di tahun 1985 Kementrian Agama membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) bersama Mehkamah Agung terkait pembentukan KHI," ujar Zarkasih.