REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama hidupnya, Mbah Moen mengabdi dan berjuang lewat Nahdlatul Ulama (NU). Mbah Moen pernah mendapatkan amanah sebagai Ketua Syuriah NU Provinsi Jawa Tengah pada 1985 hingga 1990. Hingga akhir hidupnya, Mbah Moen pun menjabat sebagai Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Dalam rekam jejaknya, ulama khos NU ini juga memiliki sumbangsih yang sangat besar terhadap bangsa ini. Mbah Moen menjadi salah satu ulama yang telah banyak melahirkan pemimpin agama di negeri ini. Mbah Moen mengabdikan dirinya lewat Pondok Pesantren Al-Anwar, sebuah pesantren yang memiliki sekitar 3.210 santri.
Pesantren Al-Anwar sudah berdiri sejak 1967. Selama berdirinya, pesantren yang diasuh Mbah Moen ini telah mencetak banyak santri. Tradisi khas pesantren ini adalah membahas persoalan kekinian dengan menggunakan kitab kuning, sehingga bisa melahirkan santri yang bisa menghadapi permasalahan masa kini.
Salah satu santri Mbah Moen, Mohammad Najib Buchori Masruri mengatakan, dalam memimpin pesantren Mbah Moen sangat mengayomi terhadap santri-santrinya. “Saya nyantri sama Mbah Moen dari tahun 1987 sampai 1992. Yang paling melekat itu, beliau itu akrab dengan santri dan mengayomi para santrinya, dekat dengan santirnya,” ujar Najib saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar ini menjelaskan, Mbah Moen ingin para santrinya fokus untuk mendalami ilmu agama selama di pesantren. Karena itu, kata dia, Mbah Moen tidak begitu suka ketika ada santrinya yang ingin belajar ilmu kanuragan atau ilmu kebal.
“Mbah Moen itu ingin santrinya fokus, jadi itu gak boleh mislanya belajar ilmu kanugaran, kekebalan. Mbah Moen itu tidak suka, dia ingin santri fokus mondok dan belajar agama,” kata Najib.
Selain mengabdi lewat NU dan pesantren, Mbah Moen juga pernah memgabdi kepada bangsa ini lewat jalur politik praktis. Beliau tercatat pernah menjadi anggota Dewan Perwakila Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Rembang selama tujuh tahun.
Setelah tugasnya berakhir, Mbah Moen sempat vakum dari dunia politik dan fokus mengurus pesantren yang dipimpinnya. Namun, beliau kembali dipanggil oleh negara dan menjadi anggota Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) utusan Jawa Tengah selama tiga periode.
Mbah Moen merupakan seorang ulama yang menguasi cabang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Di bidang keilmuan, Mbah Moen pun menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri, di antaranya berjudul Al-Ulam Al-Mujaddid. Kitab ini menjelaskan usaha pembaharuan yang dilakukan para ulama dan mujaddid, khususnya dalam bidang hukum Islam.
Dalam kitab ini, Mbah Moen mengungkapkan bahwa setiap abad akan datang ulama-ulama pembaharu yang akan memperbaiki kehidupan kaum muslimin. Mbah Moen bahkan memaparkam nama-nama pembaharu dari masa ke masa, mulai dari masa sahabat hingga abad 14 Hijriah.
Kemudian, Mbah Moen menjelaslan bidang kajian yang menjadi objek pembaharuan yang dibawa para ulama tersebut, diantaranya tentang hukum perbukaan saat ini, hukum berzakat dengan uang tunai untuk menggantikan emas dan perak, nisab uang kertas dalam zakat, hukum pajak, dan hukum mengikuti mazhab para ulama.