REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam Indonesia kehilangan ulama kharismatiknya, KH Maimoen Zubair yang biasa dipanggil Mbah Moen pada musim haji tahun lalu. Mbah Moen baruberpulang ke rahmatullah di Tanah Suci Makkah pada 6 Agustus 2018 lalu, tepatnya pada pukul 14.17 WIB.
Dalam sejarah hidupnya, Mbah Moen tidak hanya memiliki kharisma di kalangan para ulama, tapi juga sangat dihormati oleh para politisi nasional. Karena itu, Mbah Moen layak menjadi teladan di bidang keagamaan dan politik.
KH Maimoen Zubair lahir di Sarang, Rembang, Jawa Tengah, pada 28 Oktober 1928. Maimoen merupakan putra pertama Kiai Zubair Dahlan, seorang ulama yang pernah berguru pada Syaikh Said al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky. Ibunya, Nyai Mahmudah adalah putri dari Kiai Ahmad bin Syu’aib, pendiri Pesantren al-Anwar Sarang Rembang.
Dalam buku berjudul “3 Ulama Kharismatik Nusantara”, dijelaskan bahwa keilmuan dan kealiman Kiai Zubair diakui hingga ke negeri jiran. Beliau adalah sosok guru yang telah melahirkan banyak ulama di tanah air, meskipun tidak memiliki pesantren sendiri. Kedalaman ilmu agama orang tuanya itu menjadi basis pendidikan agama Maimoen.
Sejak kecil, Maimoen didik oleh orang tuanya secara langsung. Pada 1945, Maimoen kemudian melanjutkan belajar agama di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan KH Abdul Karim. Selama di Lirboyo, Maimoen juga mengaji kepada KH Mahrus Ali.
Maimoen adalah santri yang cerdas. Dalam masa belajarnya, Mbah Moen sudah hafal beberapa kitab yang kerap diajarkan di pesantren, seperti kitab Al-Jurumiyah, Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik, Matan Jauharot Tauhid, Sullamul Munauroq, serta Rohabiyyah fil Faroidh.
Tidak hanya itu, Maimoen juga menguasai kitab-kitab fiqih mazhab Syafii, seperti kitab Fathul Qarib, Fahul Muin, Fathul Wahab, dan kitab-kitab lainnya. Pada umur 21 tahun, Maimoen melanjutkan studinya ke Makkah dan sempat belajar pada ulama berjulul Musnid Dunya, Syekh Yasin Al Fadani.
Setelah itu, Maimoen juga meluangkan waktunya untuk mengaji ke beberapa ulama di Jawa, di antaranya Kiai Baidhowi, KH Ma'shum Lasem, KH Wahab Chasbullah, KH Muslih Mranggen (Demak), dan beberapa kiai lainnya.
Setelah cukup menimba ilmu, Maimoen menikah dengan putri KH. Baidhowi Lasem, Hj. Fatimah. Pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak. Empat diantaranya meninggal saat masih kecil, sedangkan tiga anaknya yang lain yaitu KH. Abdullah Ubab, KH. Muhammad Najih, dan Neng Shobibah.
Kemudian, Mbah Moen menikah lagi dengan putri KH. Idris asal Blora, yaitu Nyai Masthi’ah. Dari pernikahan keduanya ini, Mbah Moen dikaruniai enam putra dan dua putri, yaitu KH. Majid Kamil, Gus Abdul Ghafur Maimoen, Gus Ro’uf, Gus Wafi, Gus Taj Yasin, Neng Shobihah, serta Neng Rodhiyah.
Nyai Mas’thiah meninggal dunia pada Agustu 2002 silam. Setelah itu, Mbah Moen menikah lagi dengan Hj. Heni Maryam dari Kudus. Nyai Heni lah yang selalu menemani Mbah Moen hingga akhirnya hayatnya.
Putra-putra Mbah Moen ada yang melanjutkan perjuangan Mbah Moen mengembangkan agama Islam, ada juga juga yang mengikuti jejaknya di bidang politik. Salah putra beliau yang ahli di bidang agama adalah KH Abdul Ghafur Maimoen. Luluasan Al-Azhar ini juga menjadi salah satu pakar Alquran di Indonesia.
Sedangkan putra beliau yang terjun ke politik adalah Gus Taj Yasin. Gus Yasin, panggilan akrabnya, adalah politikus muda yang kini menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah periode 2018-2023. Meskipun lahir dari keluarga ulama, Gus Yasin memiliki ketertarikan di bidang politik.