Jumat 20 Mar 2020 08:08 WIB

Anak Panah yang tak Palingkan Ali bin Abi Thalib dari Sholat

Ali bin Abi Thalib tetap melaksanakan sholat meski diserang anak panah.

Ali bin Abi Thalib tetap melaksanakan sholat meski diserang anak panah. Ilustrasi Ali.
Foto: NET
Ali bin Abi Thalib tetap melaksanakan sholat meski diserang anak panah. Ilustrasi Ali.

REPUBLIKA.CO.ID, Hati yang tidak tenang, pikiran yang buntu, dan jiwa yang ada dalam kegalauan. Sholat dengan khusyuklah yang menjadi penawar semua itu. Ketika mengadukan semuanya kepada Allah maka segala persoalan pasti akan diselesaikan oleh Yang Mahakuasa. 

Pantas saja Allah berfirman, "Minta tolonglah kalian dengan sabar dan sholat. Namun, yang demikian itu sungguh berat, melainkan bagi orang-orang yang khusyuk," (QS Al Baqarah [2]:153).

Baca Juga

Seperti dikisahkan dalam Tafsir Kasyf al Asrâr Maibadi, Ali bin Abi Thalib pernah tertusuk panah. Sebuah anak panah pernah menembus kaki beliau hingga mengenai tulangnya. Meski telah diusahakan untuk mencabut, namun tidak kunjung berhasil. 

Satu-satunya cara untuk mencabutnya adalah dengan menusukkan anak panah tersebut sampai benar-benar tembus, kemudian mematahkan ujungnya. Barulah panah itu bisa dicabut. 

Ali bin Abi Thalib pun meminta agar anak panah tersebut dicabut ketika ia tengah menunaikan sholat Ashar. Benar saja, ketika beliau tengah khusyuk dengan sholatnya, seorang tabib datang untuk mencabut anak panah itu. 

Sedangkan Ali bin Abi Thalib sama sekali tak merasakan kesakitan. Tatkala beliau memberikan salam, Ali langsung berujar, “Sekarang lukaku agak ringan.” 

Khusyuk seperti inilah yang tak ingin dilewatkan para sahabat ketika sholat. Kenikmatan 'bercakap-cakap' dengan Allah telah menjadi penawar dari segala bentuk kesakitan. Jika sakit yang nyata seperti tertusuk panah saja bisa lenyap dengan sholat, apalagi dengan sakit ruhani. 

Khusyuk bukan berarti lupa segala-galanya. Seperti didefenisikan Imam Ibnu Rajab, khusyuk berarti kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia kepada Allah SWT. 

Intinya, seorang hamba menyadari bahwa ia tengah berkomunikasi dengan Allah. Ketahuilah, di akhirat nanti, kenikmatan terbesar seorang hamba ketika menemui Rabb mereka di surga. Bagaimanakah kiranya, ketika mereka bisa merasakan itu di dunia?

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement