REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah hadits disebutkan:
حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ الرُّطَبَ بِالْقِثَّاءِ
Telah menceritakan kepadaku Isma'il bin Abdullah ia berkata; telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Sa'd dari Bapaknya ia berkata, "Aku mendengar Abdullah bin Ja'far berkata, "Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam makan kurma segar dengan qitsa` (sejenis mentimun)." (HR Bukhari)
Ibnu Qayyim al Jauziyyah dalam kitabnya yang berjudul Ath-Thibb an-Nabawi atau Metode Pengobatan Nabi menjelaskan, pada intinya, buah yang satu bersifat panas sementara yang satunya bersifat dingin. Masing-masing bisa memperbaiki kekurangan pada buah lainnya, bisa menghilangkan bahayanya dan dapat mengatasi temperatur atau sifat yang berlawanan dengannya. Di samping masing-masing juga bisa mencegah pengaruh buruk pada buah yang lain.
"Ini adalah formula medis yang komprehensif dari dasar menjaga kesehatan tubuh," tulis Ibnu Qayyim.