Selasa 17 Mar 2020 17:10 WIB

Ragam Pandangan Ulama Soal Dzikir Berjamaah

Sejumlah ulama memiliki pandangan tentang dzikir berjamaah.

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Muhammad Hafil
Ragam Pandangan Ulama Soal Dzikir Berjamaah. Foto Ilustrasi: Dzikir berjamaah
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ragam Pandangan Ulama Soal Dzikir Berjamaah. Foto Ilustrasi: Dzikir berjamaah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Dzikir merupakan aktivitas yang mulia. Dengan berdzikir secara khusyuk maka seorang hamba akan memperoleh ketenangan hati. Berdzikir bisa dilakukan kapan saja. Setelah shalat wajib, shalat sunah, atau di kala pagi dan malam hari.

Baca Juga

Belakangan, marak fenomena dzikir berjamaah. Sekelompok orang menggelar dzikir secara bersama-sama. Lokasinya bisa di masjid atau di tempat-tempat umum. Lalu, bagaimanakah hukum pelaksanaannya?

Menurut Prof Kamal Bughlah, dalam kajiannya yang berjudul Hukmu al-Jahr wa al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikr, polemik dzikir seperti ini pernah mengemuka di kalangan para salaf. Di masa kini, pembahasannya pun tetap menarik perhatian para ulama. Para ulama berselisih pandang menyikapi hukum dzikir berjamaah.

Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi berpendapat bahwa dzikir berjamaah hukumnya haram dan termasuk bidah. Pendapat itu dikeluarkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dengan anggota Syekh Bakar Abu Zaid, Abdul Aziz Alussyekh, Shalih al-Fauzan, dan Abdullah bin Ghadyan.

Pandangan ini juga merupakan opsi yang dipilih oleh Asosiasi Ulama Senior Arab Saudi. Menurut mereka, aktivitas semacam itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Seperti hadis Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Aisyah, “Maka segala apa yang tidak pernah diteladankan oleh Rasul, hukumnya tertolak”. Artinya, tidak boleh dilakukan.

Dzikir yang dicontohkan oleh Rasul ialah dzikir individual dengan bersuara usai shalat lima waktu. Ini seperti hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibn Abbas. Sekalipun pada dasarnya bacaan-bacaan yang dikeluarkan saat berdzikir berjamaah pernah diteladankan Rasul tetapi cara penyampaiannya tidak dibenarkan. Ini dianggap bidah. Sebab, dzikir yang disunahkan bersifat individual, bukan berjamaah.

Kelompok ini menukil fatwa yang disampaikan oleh Imam Syathibi dan Ibnu Taimiyyah. Menurut Syatibi, kegiatan semacam ini tidak pernah sekalipun terlaksana semasa Rasulullah hidup. Karena itu, Ibnu Taimiyah juga menegaskan, Rasul dan para sahabatnya tidak berdzikir berjamaah, baik ketika shalat Shubuh, Ashar, atau shalat lainnya. Usai shalat, justru waktu itu dipergunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan nasihat dan pelajaran agama.

Sedangkan, kubu yang kedua, kata Prof Kamal, tidak sependapat dengan pihak pertama. Menurut mereka, tak ada larangan pelaksanaan dzikir berjamaah. Bahkan, para salaf menganjurkannya. Imam Malik dalam Muwatha, memperbolehkan dzikir yang dibaca secara berjamaah.

Ibnu Qudamah yang bermazhab Hambali juga demikian. Ini seperti terdapat di kitab al-Mughni. Pernyataan serupa juga terdapat di kitab al-Umm karangan Imam Syafi’i. Mazhab Hanafi juga berpandangan bahwa hukum dzikir berjamaah boleh. Ini seperti dinukilkan dari al-Bahr ar-Raiq dan Durar al-Ahkam.

Karenanya, Imam Nawawi menegaskan, dzikir berjamaah dengan bersuara tidak dilarang, bahkan disunahkan. Menurut Mazhab Syafi’i, bahkan lebih utama. Ini juga merupakan salah satu pendapat imam Ahmad dan Malik, seperti dinukilkan oleh Ibnu Hajar.

Salah satu dasar yang dijadikan dalil ialah hadis riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh sejumlah imam, yaitu Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, dan Abi Syaibah, serta al-Baihaqi. Hadis itu menegaskan, tidaklah berkumpul suatu kaum duduk bersama lalu berdzikir kepada Allah, kecuali mereka akan dilindungi oleh para malaikat.

Atas dasar inilah, Imam Suyuthi menyanggah pendapat mereka yang menolak dan melarang dzikir bersuara atau berjamaah. Pendapatnya itu tertuang dalam risalah kecil yang berjudul Natijat al-Fikri fi al-Jahri bi adz-Dzikri.

Syekh Abdul Haq ad-Dahlawi dalam kitabnya Taushil al-Murid ila al-Murad, bi Bayan Ahkam al-Ahzab wal-Awrad memaparkan argumentasi diperbolehkannya dzikir berjamaah secara mendetail dan lengkap. Dalam kitab berbahasa Persia yang telah dialihbahasakan ke bahasa Arab itu, ia berkesimpulan bahwa dzikir bersuara dan berkumpul untuk melakukannya bersama di suatu majelis atau masjid boleh dan ada dasarnya.

Syekh Abdul Fattah Abu Ghaddah mengatakan, sejumlah ulama memang melarang dzikir dengan suara keras, baik yang dilaksanakan secara individual atau kolektif. Namun, menurutnya, pendapat yang benar justru menyatakan sebaliknya.

Dzikir berjamaah dengan bersuara diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini seperti dijelaskan Imam al-Aknawi al-Hindi. Syarat yang dimaksud, misalnya tidak boleh berlebihan dan menimbulkan kebisingan serta hendaknya tidak memicu aksi pamer (riya).

Selain itu, Syekh Abu Ghaddah menambahkan dugaan bahwa Ibnu Taimiyah melarang dzikir berjamaah tak sepenuhnya benar. Dalam Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah membantah seseorang yang menolak dzikir berjamaah dengan rentetan ritual, seperti pembacaan Alquran, shalawat atas Nabi, tahlil, tasbih, dan tahmid, atau takbir.

Menurut Ibnu Taimiyah, aktivitas berdzikir dan mendengarkan lantunan ayat suci Alquran dengan berjamaah merupakan kegiatan positif. Ini termasuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bentuk ibadah yang paling utama. Hanya saja, ia menggarisbawahi agar ini tidak dilakukan rutin tiap waktu. Sebab, untuk menghindari persepsi dan asumsi sebagian orang bahwa kegiatan tersebut adalah sunah yang dianjurkan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement