REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wabah penyakit pes pernah menjangkiti sebagian besar Eropa dan kawasan pesisir Laut Tengah dalam kurun ta hun 1346-1353. Akibatnya, lebih dari 50 juta orang meninggal dunia. Jumlah tersebut mencakup nyaris 60 persen total populasi Benua Biru kala itu. Orang yang terjangkit wabah pes akan mengalami pembengkakan pada kelenjar getah bening.
Penderita yang sekarat akan menampakkan bercak=bercak hitam pada kulitnya sebagai tanda pendarahan akut. Warna hitam itu mem buat wabah ini dinamakan sebagai the Black Death. Kalangan sejarawan meyakini, muasal penyakit tersebut dapat ditelusuri hingga kawasan padang rumput di Asia Tengah. Pada abad ke-14, Jalur Sutra menghubungkan perniagaan antara Asia dan Eropa. Kuat dugaan, biang pes melewati rute tersebut sebelum sampai di kota-kota pelabuhan Mediterania.
Belakangan, pemicu pes diketahui sebagai Yersinia pestis. Bakteri itu dapat menginfeksi kutu yang lantas hidup pada hewan-hewan pengerat kecil, semisal tikus. Pada abad pertengahan, tikus-tikus diduga ikut terbawa dalam barang-barang dagangan dari Asia ke Eropa. Karena itu, muncul kasus individu tergigit kutu yang terinfeksi Yersinia pestis. Ia lantas mengalami demam, sakit kepala, hingga tubuh lemas. Kelenjar getah bening yang berada dekat tempat gigitan itu akan membengkak.
Berikutnya, infeksi menyebar melalui aliran darah si penderita. Dalam lima hari, sang korban dapat kehilangan nyawa bila tidak diobati secara benar. Fenomena the Black Death juga menjadi perhatian kalangan ilmuwan Muslim. Apalagi, umat Islam pun pernah mengalami wabah mema ti kan. Sebut saja yang terjadi pada zaman kekhilafahan Umar bin Khattab. Michael W Dols dalam bukunya, The Black Death in the Middle East (1977), menjelaskan, peradaban Islam turut mengembang kan disiplin ilmu kedokteran.