REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Too modern to succeed. Demikian Robert N Bellah menyebut praktik politik di era awal Islam, dalam bukunya Beyond Belief. Pernyataan Bellah ini sering dikutip oleh cendekiawan Muslim, almarhum Nurcholish Madjid, dalam sejumlah karyanya. Cak Nur kerap menyebut praktik komunitas awal Islam itu sebagai bercorak demokratis.
Betapa tidak. Praktik yang dilakukan komunitas awal Islam tersebut, benar-benar maju dan belum ada presedennya dalam sejarah umat manusia. Sebab, suksesi tidak memakai sistem putra mahkota. Padahal, saat itu, di belahan mana pun di dunia, pergantian kekuasaan masih menggunakan sistem dinasti. Bapak wafat, digantikan anaknya, atau saudaranya, sepanjang ada pertalian darah.
Tapi, Islam saat itu datang dengan sistem yang sama sekali baru. Bukan kerajaan (monarki), bukan pula sistem teokrasi yang di mana kekuasaan di pergilirkan kepada para pemuka agama. Kendati para pemimpin seperti khalifah rasyidun merupakan pengganti Rasul (khalifah ar-rasul), namun mereka bukanlah seperti pendeta-raja atau manusia setengah dewa yang absolut.
Dalam Islam, kekuasaan berada di tangan umat atau rakyat. Ketegasan tersebut terlihat dari keengganan Nabi membuat wasiat menunjuk peggantinya. Pemikir politik Islam asal Palestina, Imaduddin Ahmad, menyatakan kisah itu memperlihatkan bahwa sumber otoritas politik (kekuasaan) ditransfer kepada umat, bukan kepada individu atau sekelompok orang.
Islam menyerahkan kepemimpinan umat dipilih berdasarkan prinsip musyawarah (syura). Di sana ada nilai-nilai yang kompatibel dengan demokrasi se perti persamaan (al-musawah), kebebas an (alhurriyah), dan pertanggungjawaban pub lik atau akuntabilitas (al-mas’uliyah).