REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb.
Jika kita mengadakan perjalanan seperti ke Cirebon atau Bali selama 4-5 hari, apa saja yang dibolehkan dalam masalah mengqashar dan menjamak shalat ketika dalam perjalanan? Apakah shalat dijamak dan diqashar hanya pada saat kita dalam perjalanan dan belum sampai ke tujuan?
Apakah jika sudah sampai tujuan hanya mengqashar dan tidak menjamak shalat? Apakah jika lebih dari empat hari, misalnya sebulan dalam perjalanan, maka shalatnya tanpa dijamak ataupun diqashar?
Hariyati Suhatini - Bogor
Waalaikumussalam wr wb.
Di antara keringanan yang diberikan Allah SWT kepada kaum Muslimin adalah dalam melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, dibolehkan bagi umat Islam yang sedang melakukan perjalanan (menurut jumhur ulama, perjalanan lebih kurang 83 km) untuk mengqashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Allah SWT berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sembahyang(mu)...” (QS an-Nisa [4]: 101).
Bahkan, menurut pendapat ulama yang kuat, mengqashar shalat ketika dalam perjalanan ini hukumnya adalah sunah muakkadah karena Nabi saw tidak pernah meninggalkannya.
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Saya sering menemani Rasulullah saw dan ketika dalam perjalanan beliau tidak pernah menambah shalat fardhunya dari dua rakaat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Juga dibolehkan bagi umat Islam ketika dalam perjalanan untuk menjamak dua shalat untuk dilakukan pada satu waktu, baik jamak takdim atau jamak takhir. Banyak sekali hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang kebolehan menjamak shalat ketika sedang dalam perjalanan ini.
Di antaranya; Dari Salim, dari ayahnya (Abdullah bin Umar), ia berkata, “Adalah Nabi saw menjamak shalat Maghrib dan Isya ketika beliau di tengah perjalanan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Rasulullah saw biasa menjamak shalat Zuhur dan Ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga menjamak antara Maghrib dan Isya.” (HR Bukhari).
Menurut jumhur ulama, keringanan menjamak shalat ketika dalam perjalanan, tidak hanya sewaktu dalam perjalanan tapi juga ketika singgah di suatu tempat. Selama seseorang masih dalam perjalanannya, ia boleh mengqashar dan menjamak shalatnya berapa lama pun ia dalam perjalanan.
Begitu juga, jika seseorang menetap di suatu tempat untuk melakukan atau mengurus keperluannya, tetapi dia tidak meniatkan dan tidak tahu berapa lama ia akan tinggal di tempat tersebut, jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Hambali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat masih dianggap dalam perjalanan.
Adapun jika seseorang berniat untuk menetap beberapa waktu di suatu tempat, seperti untuk wisata, tugas kerja, dan belajar, jumhur ulama berpendapat bahwa berakhirlah hukum safarnya dan ia harus melakukan ibadah-ibadahnya sebagaimana ibadah orang yang menetap.
Jumhur ulama dari kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i dan salah satu riwayat dari mazhab Hambali berpendapat, jika seseorang berniat menetap di suatu tempat selama empat hari, habislah masa keringanan baginya untuk mengqashar dan menjamak shalat.
Mazhab Hambali berpendapat, jika ia berniat menetap lebih dari 20 kali shalat fardu (lebih dari empat hari), maka ia mesti menyempurnakan shalatnya dan melaksanakannya pada waktu yang telah ditentukan.
Sedangkan, menurut mazhab Hanafi, jika seseorang berniat menetap selama 15 hari di suatu tempat, maka habislah masa safarnya dan ia harus melaksanakan kewajiban shalatnya sebagaimana orang yang menetap.
Setiap pendapat ulama ini ada dalilnya dan perbedaan pendapat mengenai hal ini adalah suatu perbedaan pendapat yang kuat. Tentunya yang lebih selamat adalah pendapat jumhur ulama.
Yang berniat menetap empat hari atau lebih di suatu tempat, hilanglah keringanan seorang musafir baginya. Ia harus melaksanakan ibadahnya sebagaimana orang-orang yang menetap. Wallahu a’lam bish shawwab.
Ustaz Bachtiar Nasir