Kamis 28 Oct 2021 14:00 WIB

Empat Fiqih Darurat di Masa Kini

Fiqih darurat menyesuaikan kondisi saat ini.

Rep: Ratna ajeng tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Empat Fiqih Darurat di Masa Kini. Foto: Ilustrasi Fiqih
Foto: MGROL100
Empat Fiqih Darurat di Masa Kini. Foto: Ilustrasi Fiqih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam buku Fikih Darurat karya Muhamad Abul Fatah Al Bayanuni terdapat lima hal yang termasuk fiqih darurat yang telah difatwakan di masa kini. Fiqih darurat tersebut di antaranya, 

Pertama, Hukum tentang seorang muslim yang mengambil kewarganegaraan non Islam atau berdomisili di negara dengan mayoritas penduduknya non Islam. 

Baca Juga

Majalah Akademi Fikih Islam Internasional yang diterbitkan di Saudi Arabia tahun 1408 H / 1987 M, edisi ketiga, bagian kedua, memuat kumpulan fatwa yang membahas permasalahan ini. Kesimpulan dari kumpulan fatwa itu adalah mengambil kewarganegaraan dari negara non muslim termasuk hal-hal yang diperbolehkan dalam keadaan darurat.

Sebagaimana ketika seorang muslim terusir dari negara asalnya, lalu nyawa, keluarga, dan kehormatannya berada dalam bahaya. Sementara dia tidak bisa memperoleh suaka dari negara - negara Islam, karena negara-negara tersebut tidak mau menerima kedatangan imigran. Maka dia boleh mengambil kewarganegaraan dari negara-negara non Islam yang mau menerimanya.

Kedua, fatwa yang mengizinkan seseorang bekerja di bank

Salah satu tugasnya adalah menghitung bunga riba atau mencatat besaran suku bunga, sementara tidak mudah baginya memperoleh pekerjaan lain yang halal. Dalam kumpulan fatwa yang diterbitkan Lembaga Fatwa dan Riset Syariah Kemen terian Wakaf Kuwait , terdapat pernyataan yang berbunyi, "pekerjaan pegawai ini jika sebatas mengawasi proses penarikan bungabank atau mencatat sukuk bunga yang dikerjakan pegawai lain  maka tidak ada dosa baginya. 

Sedangkan jika dia ikut terlibat dalam perhitungan bunga bank atau pencatatan sukuk bunga secara langsung, pekerjaannya ini diharamkan. Sehingga, dia harus beralih ke pekerjaan lain yang tidak bersangkut paut dengan urusan riba. 

Jika tidak mudah baginya mencari pekerjaan lain, maka dia mendapatkan rukhsah (keringanan) dan diizinkan tetap bekerja di bank. Kondisi yang dihadapinya ini mendekati keadaan darurat.

Ketiga, fatwa yang mengizinkan seorang mahasiswi bepergian tanpa mahram ( lpendamping sah secara syar'i ) dalam perjalanan yang berhubungan dengan kegiatan akademik atau lainnya.

Dalam persoalan ini juga dibahas kumpulan fatwa yang diterbitkan oleh lembaga yang telah disebutkan sebelumnya. Setelah penjelasan tentang keharaman seorang perempuan bepergian tanpa mahram, terda pat pernyataan yang berbunyi, " Tidak diperbolehkan menyalahi hukum-hukum syar'i, kecuali dalam keadaan darurat . 

Seperti perempuan yang mahramnya meninggal dunia dalam perjalanan dan dia hendak pulang ke negara asalnya atau perempuan pengidap penyakit parah yang hendak berobat sehingga dia harus bepergian, sementara dia tidak bersuami atau mahram. Kaum perempuan sering kali memiliki kebutuhan-kebutuhan yang mendesak . Dan kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa dikategorikan sesuatu yang darurat secara syar'i.

Keempat, fatwa yang membolehkan negara Islam mewajibkan rakyatnya membayar pajak di luar kewajiban mereka membayar zakat. 

Dalam kitab Buhuts Fi Fiqh al - Mu'amalat al - Maliyah al - Mu'shirah karangan Ali Muhyiddin Qurahdaghi  pada pembahasan yang menyeleksi beragam pendapat ulama antara yang melarang dan yang membolehkan mewajibkan pajak, disebutkan, pendapat yang terlihat unggul dan kuat dalam pandangan kami adalah kaidah asal yang tidak membolehkan mewajibkan pajak bagi masyarakat di negara Islam. 

Namun dari kaidah asal terdapat pengecualian, yakni kondisi yang mencerminkan keadaan darurat serta kebutuhan yang mendesak. Negara boleh mewajibkan rakyatnya dengan syarat mampu menegakkan prinsip prinsip keadilan dan persamaan, serta tidak melakukan kecurangan dan korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement