Senin 02 Aug 2021 19:15 WIB

Bolehkah Kerja untuk Non-Muslim dan Apakah Hasilnya Halal?

Berinteraksi sosial dengan non-Muslim pada dasarnya adalah boleh

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Berinteraksi sosial dengan non-Muslim pada dasarnya adalah boleh. Ilustrasi Buruh pabrik
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Berinteraksi sosial dengan non-Muslim pada dasarnya adalah boleh. Ilustrasi Buruh pabrik

REPUBLIKA.CO.ID, – Dalam mencari rezeki, umat Islam pada dasarnya tidak dilarang untuk bekerja kepada pengusaha non-Muslim. Bahkan, hasil kerjanya hukumnya halal jika memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan para ulama.

Pendiri Rumah Fiqih Indonesia (RFI), Ustadz Ahmad Sarwat menjelaskan, hasil kerja pada usaha non-Muslim hukumnya halal. Asalkan, kata dia, usahanya tersebut memproduksi barang-barang halal dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.  

Baca Juga

“Pastinya harus yang usaha di bidang yang halal. Tapi kalau misalnya pengusaha non-Muslimnya itu bikin pabrik khamr atau ternak babi yang sudah jelas 100 persen haram, maka hasilnya haram,” ujar Ustadz Sarwat kepada Republika.co.id, Senin (2/7).

Namun, menurut dia, hal itu juga bisa berubah hukumnya dalam kondisi tertentu. Jika hidup di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, menurut dia, tentu umat Islam memiliki banyak pilihan untuk tidak bekerja di usaha yang menjual khamar atau ternak babi.

Sementara, jika hidup di negara mayoritas non-Muslim dan tidak ada pilihan kerja lain, maka hal itu tidak menjadi masalah. Karena, yang mengkonsumsinya juga bukan umat Islam dan tidak berdampak negatif pada umat Islam.

“Sehingga kalau kita melihat secara komposisi, gak masalah kalau misalnya kita kerja di tempat minuman khamr di tengah masyarakat yang semuanya minum khamr karena mereka bukan Muslim. Sementara, di sana kita tidak ada pilihan lain. Itu tentu hukumnya menjadi berbeda dengan kalau kita berada di negara mayorits Muslim,” jelas Ustaz Sarwat.  

Dalam konteks Indonesia, menurut dia, banyak pengusaha non-Muslim dan produknya masih sesuai dengan syariat Islam. Jika dengan demikian, tidak masalah untuk mendapatkan hasil kerja dari mereka.

“Jadi, kita sebenanrya tidak ada larangan untuk bekerja dengan orang yang agamanya bukan Islam, selama produknya secara langsung tidak bertentangan dengan syariah,” kata Ustadz Sarwat.

Hal senada juga disampaikan Al-Muhallab dalam kitab Fath al Bari karya Ibnu Hajar. Al-Muhallab menegaskan dua syarat bagi umat Islam yang ingin bekerja di usaha milik non-Muslim.

Pertama, bidang kerja tersebut harus merupakan pekerjaan yang boleh dilakukan seorang Muslim, seperti membangun rumah, menjadi sopir dan pelayan toko dengan dagangan halal dan sebagainya. Sementara, jika pekerjaanya bertentangan dengan ajaran Islam, seperti merawat babi atau menjaga toko khamr, maka hasilnya juga haram.

Kedua, tidak mempunyai dampak negatif kepada Islam maupun kaum Muslimin. Misalnya, kalau bekerja di media yang memang ditujukan untuk menebar pemikiran yang salah dan berita yang mendiskreditkan umat Islam, maka tidak boleh.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga tidak melarang seorang sahabat yang bekerja kepada non-Muslim, yaitu Kaab bin Ujrah. Dia bekerja kepada non-Muslim untuk memberikan kurma kepada Nabi Muhammad SAW.

وعن كعب بن عجرة قال : أتيت النبي - صلى الله عليه وسلم - فرأيته متغيرا ، فقلت : بأبي أنت ، ما لي أراك متغيرا ؟ ! قال : " ما دخل جوفي ما يدخل جوف ذات كبد منذ ثلاث " . قال : فذهبت فإذا يهودي يسقي إبلا له ، فسقيت له على كل دلو بتمرة ، فجمعت تمرا ، فأتيت به النبي - صلى الله عليه وسلم - فقال : " من أين لك يا كعب ؟ " . فأخبرته ، فقال النبي - صلى الله عليه وسلم : " أتحبني يا كعب ؟ " . قلت : بأبي أنت ، نعم   

“Saya mendatangi Nabi SAW pada suatu hari, dan saya melihat beliau pucat. Maka saya bertanya, ‘Ayah dan ibu saya adalah tebusanmu. Mengapa engkau pucat?’ Beliau SAW menjawab, ‘Tidak ada makanan yang masuk ke perut saya sejak tiga hari.’ Maka saya pun pergi dan mendapati seorang Yahudi sedang memberi minum untanya.

Lalu saya bekerja padanya, memberi minum unta dengan upah sebiji kurma untuk setiap ember. Saya pun mendapatkan beberapa biji kurma dan membawanya untuk Nabi SAW. Beliau SAW bertanya, ‘Dari mana ini wahai Ka’ab?’ Lalu saya pun menceritakan kisahnya. Beliau SAW bertanya, ‘Apakah kamu mencintaiku wahai Kaab?’ Saya menjawab, ‘Ya, dan ayah saya adalah tebusanmu.’” (HR Ath Thabrani)  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement